Selasa, 13 Mei 2014

Penyalahgunaan Paham Manunggaling Kawula Gusti

Oleh: KH. A. Nawawi Abd. Djalil, Pengasuh PP Sidogiri*
Baru-baru ini Masyayikh, Habaib dan Syuriah PCNU se-Pasuruan Raya (Bangil, Kota dan Kabupaten Pasuruan) mengeluarkan Maklumat Bersama mengenai seruan dan upaya yang harus dilakukan dalam rangka menyelamatkan masyarakat dari penyalahgunaan pemahaman akidah wahdah al-wujud yang juga sering dikenal dengan istilah manunggaling kawula gusti. Bagaimana sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menjelaskan mengenai konsep tersebut?
Ketahuilah, mustahil Allah SWT manunggal dengan makhluk-Nya. Begitu pula mustahil Allah SWT bersemayam pada salah satu makhluk-Nya. Dua hal ini tidak bisa diterima oleh nalar sehat, baik dalam lingkup betul-betul terjadi atau hanya sekedar mungkin terjadi.
Imam al-Rāzi dalam al-Muhasshal fi Ushūl al-Dīn mengatakan: “Sebuah persoalan penting: Maha Pencipta tidak menyatu dengan yang lain. Sebab, dua hal yang menyatu, bila keduanya masih sama-sama ada maka berarti ada dua hal bukan satu. Bila keduanya sama-sama tidak ada maka tidak menyatu, tapi yang terjadi adalah hal lain. Bila salah satunya tidak ada sedang yang satunya ada maka juga tidak bisa menyatu, sebab sesuatu yang tidak ada tidak bisa menyatu dengan sesuatu yang ada.
Pakar hukum terkemuka, Abū al-Hasan al-Mawardi, dalam al-Hāwī al-Kabīr, dalam serangannya terhadap keyakinan orang-orang Nasrani yang menyatakan bahwa Allah menyatu dengan Nabi Isa, beliau berkata: Orang yang memiliki pandangan hulūl (inkarnasi Tuhan) atau ittihād (menya-tunya Tuhan-makhluk) tidak bisa disebut muslim secara syarīat, bahkan juga sudah tidak dinamakan muslim.
Tidak ada gunanya menyucikan Tuhan namun masih meyakini bahwa Tuhan bersemayam atau menyatu dengan makhluk-Nya. Klaim menyucikan Tuhan dengan cara semacam ini merupakan kekafiran. Bagaimana mungkin tauhid bisa dikatakan sah bila masih berkeyakinan bahwa Allah bersemayam pada makhluk (Isa a.s.) yang terlahir dari seorang Maryam.
Model persemayaman itu bisa berupa sifat yang bersemayam di benda. Dan, dengan demikian mereka berpandangan bahwa Tuhan berupa sifat. Bisa pula persemayaman berbentuk saling menyatunya berbagai benda. Dan, dengan demikian berarti Tuhan itu benda.
Bila Tuhan dikatakan bersemayam secara total, maka berarti Tuhan terbatas dalam sosok manusia serta berawal dan berakhir. Jika dikatakan hanya sebagian diri Tuhan saja yang bersemayam, maka berarti Tuhan itu terbagi-bagi atau menjadi unsur-unsur. Semuanya ini tidak benar dan kebohongan besar.
Al-Qādlī `Ayyādl dalam kitab al-Syifā menyatakan bahwa orang Islam sepakat menghukumi kafir para pengikut hulūl dan orang yang memiliki keyakinan bahwa Tuhan bersemayam pada seseorang seperti anggapan sebagian kaum “sufi”, kebatinan, Kristiani, dan Qarāmithah (sempalan kelompok Syiah).
Di bagian lain dalam kitab yang sama beliau juga menyatakan bahwa tidak dikatakan makrifat kepada Allah orang yang menyerupakan Allah dengan sesuatu yang lain atau menyifati bahwa Allah memiliki bentuk sebagaimana halnya orang-orang Yahudi. Begitu pula orang yang punya anggapan bahwa Allah bisa bersemayam, berpindah dan melebur dengan raga makhluk sebagaimana ucapan orang-orang Kristiani.
Penjelasan al-Qādlī `Ayyādh dikutip oleh Imam an-Nawāwiy dalam Syarh Muslim.
Mengenai ayat:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah al-Masīh putera Maryam.” (QS: al-Mā’idah: 72)
Al-Baidlāwiy dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa ini adalah ucapan orang-orang keturunan Isrā’il (Ya`qūb) yang mengatakan bahwa Allah melebur pada makhluk-Nya.
Mengenai kelanjutan ayat tersebut:
“Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya?” (QS al-Mā’I-dah: 74)
Al-Baidlawi menyatakan bahwa maksud ayat itu adalah “mengapa mereka tidak ber-taubat dengan cara berhenti dari akidah yang menyimpang itu dan memohon ampun kepada Allah dengan bertauhid yang benar dan menyucikan Allah dari “melebur” dan “bersemayam” setelah adanya pengakuan keesaan Allah dan peringatan keras dari Nabi Isa sendiri.
Syaikh `Izzuddīn ibn `Abd a-Salām dalam al-Qawā'id al-Kubrā menyatakan:
“Orang yang beranggapan bahwa Tuhan itu bersemayam pada salah satu tubuh manusia atau sesuatu yang lain maka dia adalah kafir. Sebab, dasar syarīat mentoleransi kelompok Mujassimah (paham personifikasi Tuhan) hanyalah karena kebiasaan masyarakat yang melakukan personifikasi Tuhan sebab nalar me-reka tidak menjangkau akan keberadaan sesuatu tanpa dimensi. Paham ini berbeda dengan hulūl (inkarnasi Tuhan). Paham ini tidak biasa dimiliki oleh masyarakat dan tidak terlintas dalam hati orang-orang bernalar sehat, maka tidak ada toleransi.
Mengomentari pernyataan Ibn `Abd al-Salām itu, Jalaluddīn al-Suyūthiy mengatakan:
“Maksud Ibn `Abd al-Salām adalah bahwa tidak ada khilāf (beda pendapat) tentang kafirnya aliran hulūl, sebagaimana khilāf dalam hal kafirnya aliran Mujassimah. Beliau memastikan kafirnya aliran hulūl secara ijmā` (tanpa khilāf), meskipun untuk kelompok Mujassimah masih ada khilāf.
Al-Hāfizh Abū Na`īm al-Ashbihāniy mengatakan pada bagian awal kitab al-Hilyah:
“Berikutnya, aku betul-betul memohon pertolongan kepada Allah SWT dan aku penuhi permintaan Anda untuk menulis kitab yang memuat (kisah) para tokoh-tokoh terkemuka dan imam kelompok sufi, berbagai lapisan ahli ibadah, serta tokoh yang menjadi kiblat mereka, sejak masa shahābat, tābi`īn, pasca tābi`īn dan generasi berikutnya yang memahami betul berbagai ajaran agama, hakikat, menyelami ahwāl (berbagai tingkatan yang dicapai sufi dalam pengembaraan batinnya) dan tarekat, dan para moralis dan tarekat yang benar. Juga para “penghuni taman” yang menjauhkan diri dari urusan berbau duniawi, tidak termasuk dalam kelompok yang suka bersilat lidah, melebih-lebihkan persoalan, suka mengklaim, mereka-reka, pemalas, orang-orang frustasi yang pakaian dan ucapannya berlagak ulama, tapi akidah dan perilakunya menyimpang. Hal itu penting, karena Anda telah mendengar pernyataan pedas kami dan para pakar fiqh dan atsār (pendapat para pendahulu) di berbagai wilayah dan kota perihal orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai kelompok sufi, padahal mereka adalah orang-orang fasik dan bejat, aliran Mubāshiyah dan hulūl yang kafir itu. Mencela dan mengingkari para pembohong tidaklah mengurangi kemuliaan orang-orang taat dan baik, tidak pula menurunkan ketinggian derajat orang-orang pilihan yang selalu berbuat kebajikan”.
Penulis Mi'yār al-Murīdīn berkomentar:
“Ketahuilah, sumber kekeliruan paham ittihād dan hulūl itu adalah faktor kebodohan mereka mengenai ajaran pokok (ushūl al-dīn) maupun ajaran detail agama (furū) dan kedang-kalan pengetahuan mereka. Nabi dan para ulama terdahulu memperingati agar kita waspada terhadap para ahli ibadah yang tak berilmu. Orang yang tidak memiliki ilmu lebih dahulu, maka segala perilaku dan ibadahnya tidak akan berhasil dan tidak sah.
Sahl al-Tustāriy mengatakan: “Hindarilah berteman dengan tiga macam orang: penguasa otoriter yang lalai, para pembaca Qur’an yang suka mencari muka, dan orang-orang “sufi” yang tak berilmu. Renungkan, jangan sampai terjatuh dalam kekeliruan, sebab agama ini jelas sekali”. Sahl juga berkata: “Ketahuilah, memang ada ulama menggunakan term ittihād, tapi yang dimaksud adalah hakikat tauhid. Ittihād dalam pandangan mereka itu adalah tauhid paling dalam. Tauhid adalah mengetahui Yang Maha Satu dan Maha Esa.
Hal ini yang kemudian dipahami secara salah oleh orang-orang yang tidak bisa menangkap maksud kata ittihād yang digu-nakan oleh ulama itu. Mereka meng-gunakan kata ittihād tersebut bukan pada makna yang semestinya. Akhirnya mereka sesat.
Al-Tustariy berpendapat bahwa bukti dari kebatilan paham kemanunggalan kawula Gusti itu adalah bahwa menyatunya dua makhluk saja sudah tidak mungkin. Dua orang manusia tidak bisa yang satu menjadi yang lain karena esensi keduanya berbeda, sebagaimana sudah maklum. Apalagi antara manusia dan Tuhan, perbedaan esensinya jauh lebih besar (absolut). Jadi, paham ittihād itu adalah batil dan ditolak oleh syara`, nalar sehat dan budaya--berdasarkan ijma` para nabi, wali, tokoh-tokoh sufi, serta ulama dan umat Islam yang lain.
Ittihād bukanlah aliran kaum sufi. Yang meyakini ittihād hanyalah orang-orang ekstrem yang tidak memiliki cukup ilmu dan memiliki nasib yang jelek. Keyakinan mereka itu mirip dengan orang-orang Nasrani (Kristiani) yang membuat opini batil bahwa unsur kemanusiaan Isa menyatu dengan unsur ketuhanan Allah.
Sedangkan orang-orang yang mendapat perlindungan dari Allah SWT mereka menolak paham ittihād dan hulūl tersebut, meskipun kata ittihād kadang mereka gunakan. Tapi yang mereka maksud dengan kata ittihād itu adalah menghapus keberadaan dirinya dan mengukuhkan keberadaan Allah SWT.
Al-Tustariy juga mengatakan bahwa kata ittihād kadang juga dipakai dalam arti sirnanya hal-hal yang tidak sesuai dan bertahannya hal-hal yang sesuai, sirnanya pengaruh duniawi dari diri dan bertahannya kerinduan terhadap urusan akhirat, musnahnya sifat-sifat tercela dan bertahannya sifat-sifat terpuji, lenyapnya keraguan dan bertahannya keyakinan, hilangnya kelalaian dan bertahannya dzikr, ingat Allah. (bersambung).
* Penulis adalah Mustasyar PCNU Kabupaten Pasuruan. Diadaptasi dari buku beliau berjudul Benteng Pertahakan Akidah (Penerbit Cipta, 2006)

Sumber: www.nupasuruan.or.id, 22 Maret 2008 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar