Kondisi masyarakat pada jaman para wali tantangan hidup dan kehidupan tidaklah seberat jaman modern, dimana masyarakat lebih cerdas, kritis dan inovatif. Materialistis, realistis, logis dan sistematis lebih cenderung dipilih oleh masyarakat ilmiah sekarang ini dari pada Al-Quran dan Al-Hadits. Karena nilai antara pengembangan kajian pemikiran dan keyakinan hati (iman) tidak seimbang. Kalaupun ada, mungkin hanya sekedar obat penyejuk rutinitas, obat kebingungan dan kegalauan hati. Hal ini terbukti pada keberadaan para penyampai ilmu agama dan ilmu ilmiah masih terpisah. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Akan datang kepada manusia suatu masa yang ketika itu orang yang sabar di atas agamanya seperti menggenggam bara api." (Sunan Tirmidzi 2186).
Perkembangan ilmiah masih merujuk kepada teori-teori barat dengan filosofi mekanisme, bukan merujuk kepada Al-Quran dan Al-Hadits yang merupakan sumber dari filosofi keilmuan. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Aku ditolong dengan perantaraan angin yang berhembus dari timur (belakang pintu Kabah) sedangkan kaum Aad dibinasakan dengan angin yang berhembus dari barat." (Shahih Bukhari 977). Angin yang berhembus dari barat bersifat empiris, sedangkan angin yang berhembus dari timur bersifat rasa dan perasaan (non empiris).
Tugas para intelektual Islam sangat berat, karena harus membuktikan bahwa al-Quran benar-benar multi dimensional, tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan dan tak usang oleh masa.
Kemajuan ilmiah sangat diharapkan untuk menjembatani terbukanya universalitas nilai-nilai Islam seutuhnya. Aliran-aliran Islam selayaknya lebur diri dengan kaji ulang pemahaman berdasarkan garis khatulistiwa ilmiah. Hingga tidak ada lagi yang menyatakan saya yang paling benar, tidak ada lagi madzhab, adanya hanya Islam rahmat sekalian alam.
Garis khatulistiwa ilmiah adalah sebuah garis imajinasi ilmiah dengan lintasan bumi dan lintasan langit :
- Lintasan bumi : meliputi Karakterisasi (observasi dan pengukuran) dan Eksperimen (pengujian). Dengan kata lain pengetahuan (syariat) menuju pengertian (tarekat).
- Lintasan langit : meliputi Hipotesis (dugaan teoretis atas hasil observasi dan pengukuran) dan Prediksi (deduksi logis dari hipotesis). Dengan kata lain pengenalan (hakekat) menuju realisasi dalam langkah nyata (makrifat).
Upaya peletakan dasar Islam di Nusantara diperankan oleh para wali mengalami banyak batu sandungan. Keselarasan kajian dengan kondisi masyarakat sangat penting hingga memerlukan kemampuan dan kecerdasan, sebagaimana dialami walisongo. Mereka harus mengekang diri dalam penyampaian dasar Islam agar sesuai dengan kemampuan dan kecerdasan masyarakat.
Kontroversi ajaran Siti Jenar menjadi momok kesemrawutan peletakan dasar Islam di Jawa, karena pada kenyataannya mereka mudah memprofokasi masyarakat yang masih lemah kemampuan intelektual dan keislamannya. Namun kondisi itu sampai sekarang masih melekat di masyarakat dan membentuk berbagai aliran Islam termasuk berbagai aliran penghayat kebatinan dengan atribut budaya.
A. Riwayat Siti Jenar
Pangeran Jayaningrat pahlawan agung Majapahit yang konon masih keturunan Mahapatih Gajahmada berhasil menangkis dan menumpas pembangkangan Raja Menak Badong dari Bali kepada Prabu Brawijaya V. Begitu bangganya Prabu Brawijaya V atas keberhasilan Pangeran Jayaningrat hingga dinikahkan dengan putri sulungnya (Putri Pembayun). Dari pernikahan ini mempunyai 3 anak : Kebo Kanigara, Kebo Kenanga dan Kebo Surastri (meninggal pada umur tiga tahun).
Melihat kehebatan ayahandanya pantas jika Raden Pattah meletakkan kecurigaan, kekhawatiran dan kewaspadan kepada Kebo Kenanga yang masih terhitung keponakan. Selain dalam dirinya mengalir darah pejuang besar, Kebo Kenanga dikenal bersahabat erat dengan puluhan ketua wilayah tanah Jawa yang kesemuanya menjadi murit Syekh Siti Jenar disamping murit-murit lainnya yang berjumlah ratusan orang.
Nampaknya kehawatiran Raden Pattah terhadap Kebo Kenanga cukup beralasan, karena Kebo Kenanga telah terang-terangan menunjukkan penentangannya dengan memberi kesan menyepelekan titahnya. Telah dua kali Raden Pattah mengutus orang kepercayaannya ke Pengging untuk meminta Kebo Kenanga datang menghadap ke Demak. Namun dua kali pula Kebo Kenanga tidak bersedia datang menghadap ke Demak.
Setelah Kebo Kenanga memahami ilmu Syekh Siti Jenar, ia menjadi tinggi hati dan bersikap menjelek-jelekan serta mencemooh ajaran Islam yang disampaikan walisongo. Bahkan Pemerintah Kerajaan Demak Bintara diremehkan dan diolok-olok sebagai melakukan perbuatan tidak pantas. Demikian pula masjid yang merupakan tempat suci, sarana banyak orang berbuat baik menuju keselamatan dan kebajikan dihinakan.
Kebo Kenanga menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat sehingga ajarannya meluas dan meresap dalam masyarakat desa diluar Pengging dan banyak orang yang menyetujui pendapatnya serta menjadi pengikutnya.
Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa alam kematian adanya didunia ini. Dan di dunia ini pula adanya sorga dan neraka, pahala dan dosa. Keadaan itulah yang dialami manusia selagi hidup di dunia yang dapat dibuktikan dengan banyak tanda-tanda yang nyata. Meskipun demikian, para waliullah salah terima dan menyebut sekarang ini hidup, sedang besok disebut mati !. Dalam meperdalam pendapat itu, Siti Jenar siang malam berusaha mensucikan budi serta menguasai ilmu luhur demi kemulyaan jiwanya.
Kepada murit-muritnya ia mengajarkan ; pertama-tama diberitahukan asal-usul kehidupan, kedua diberitahukan pintu kehidupan, ketiga diberitahukan tempat besok bila sudah hidup kekal dan abadi, dan keempat memberitahukan tempat alam kematian (didunia ini). Oleh karena itu murit Kebo Kenanga yang sudah beranggapan menguasai dan menyakininya, mereka mengharap-harap untuk hidup. Mereka tidak tahan lagi menjalani kematian di dunia ini.
Sungguh sangat disayangkan, memberikan pemahaman kepada masyarakat yang masih belum mampu tingkat keislaman dan intelektualnya. Mereka dihadapkan kepada pembahasan filosofis yang masih memerlukan realisasi pengkajiannya lebih lanjut. Mungkin yang dimaksud murit-murit Kebo Kenanga tentang ilmu Syekh Siti Jenar adalah Firman-nya :
- Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), (An Nisaa ; 66)
- Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.(Al Ankabuut ; 64)
Sebagian dari mereka ditangkap dan ditanya oleh Sultan Demak Bintara (Raden Pattah) “Hai kamu sekalian, mengapa kamu berbuat yang tidak patut terhadap sesamamu?” Menjawab salah seorang diantaranya dengan bahasa Jawa yang kurang hormat kepada Raja. “Aku mencari jalan yang menuju hidup sejati! Tidak tahan terlalu lama menjalani kematian. Kami semua murit pangeran Siti Jenar, yang sangat pandai dalam ilmu luhur. Ternyata alam ini alam kematian. Aku bosan dan muak melihat bangkai-bangkai berserakan dan berkeliaran ke mana-mana yang banyak sekali jumlahnya. Raja, penghulu, patih, jaksa semuanya adalah bangkai-bangkai yang bertutur. Para aulia, walisanga, santri-santri, kyai-kyai semuanya adalah bangkai yang tidak tahu apa-apa. Meskipun demikian, mereka bersikap sombong, sebagai orang mati memberi pengertian untuk menyembah Hyang Agung, wujud yang disebut Allah, sesungguhnya dunia ini tidak dapat mengetahui sifat-sifat Hyang Sukma.”
Mensikapi keberadaan murit Kebo Kenanga itu Sultan Demak Bintara mengutus dua orang yang akhli (dalam menelaah ilmu) untuk menyelidiki seluk-beluk ajaran Syekh Siti Jenar di daerah Kredhasawa.
Setelah kembali ke Demak utusan itu didampingi oleh Patih Radyan Dipati Wanassalam menghadap Sultan Demak Bintara. Dan setelah menerima laporan utusan itu Sultan Demak Bintara terheran-heran dan berkata : “Wahai paman Patih, bagaimanakah pendapat pamanda untuk memberantas penjahat murit-murit Kebo Kenanga yang majenun itu ? Kalau masalah ini dibiarkan merejalela, membuka rahasia alam, malapetaka jadinya.”
Radyan Dipati Wanassalam menjawab : “Aduh bagaimana Sri Sultan Bintara. Seyogyanya paduka menemui para waliullah dan memberitahukan bahwa ada orang yang merusak agama Islam serta merongrong peraturan yang berlaku. Karena dia seorang mukmin, lagipula mendapat sebutan Pangeran Wali, hal ini membuktikan bahwa dia orang yang pandai menguasai ilmu serta peraturan agama. Oleh karena itu sebaiknya diserahkan kepada ke bijakan Walisongo.”
Kemudian Sultan Demak Bintara segera mengenakan busana kerajaan dan menuju ke Masjid menjumpai Walisongo.
B. Asal Usul Siti Jenar
Dalam Babad Tanah Jawa (Galuh Mataram), disebutkan bahwa pada suatu saat ada pertemuan para wali di Giri Kedaton Gresik. Dalam pertemuan itu Sunan Bonang berkata dihadapan para wali, “wahai saudaraku Sunan Giri, anggota Walisongo di Jawa ini telah lengkap delapan orang, Sunan Kalijaga-lah yang menjadi penutup”.
Sunan Giri meyetujui usul Sunan Bonang itu, para wali yang lainnya juga tidak ada yang keberatan, tetapi justru Sunan kalijaga sendiri merasa keberatan.
Berkata Sunan Kalijaga : “Hamba menjadi sunan, tetapi belum pernah mendapat-petunju-petunjuk. Bila tidak keberatan, hamba mohon petunjuk-petunjuk”.
Sunan Bonang menyanggupi lalu pergilah mereka berdua menuju sebuah telaga dan naik sebuah perahu. Ketika perahu yang dinaikinya bocor, Sunan Bonang menyuruh Sunan kalijaga mengambil tanah liat untuk menambal perahu itu.
Bulan penuh sedang memancarkan cahaya yang lembut. Suasana di telaga terasa tenang, tiada riak air yang membuat bunyi, tak ada angin yang mendesir. Ketenangan dan ketentraman melingkupi kedua makhluk diatas perahu itu, bagaikan suasana keheningan tengah malam jalannya pelajaran ilmu hikmah tingkat tinggi dari Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga.
Seperti orang bermain teka-teki, Sunan Bonang memperluas kias :
Sunan Bonang : “Ada suluh menyala dengan empat pusat, kalau api padam kemana perginya?”
Sunan Kalijaga : “Api pergi ke suluk tidak bercahaya.” Jawaban itu betul, karena ia dapat menerima dengan baik bersamaan turunnya wahyu kepadanya.
Sunan Bonang : “Jangan sekali-kali kau ucapkan atau kau ajarkan wejangan ini, karena ini adalah ilmu ghaib (ilmu rahasia). Kalau ini sampai terdengar makhluk lain, apapun ujudnya dan walaupun ia kafir asalkan mengerti maksudnya, ia akan menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).”
Tiba-tiba ada seekor cacing lur (cacing halus) yang mengerti akan wejangan Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga.
Cacing yang nempel di tanah liat penambal perahu itu berkata : “Wahai Kanjeng Sunan berdua, hamba dengan tidak sengaja ikut mendengar segala wejangan yang tuanku bicarakan. Hamba dapat mengerti, sehingga rasa-rasanya hamba akan jadi manusia.”
Bertanya Sunan Kalijaga : “Siapa Kau ?”
Cacing lur berkata : “Hamba Cacing lur yang ada di dalam tanah liat yang tuanku pakai untuk menambal perahu.”
Sunan Bonang : “Sudah menjadi takdir Allah, cacing lur karena mendengar wejangan ini, ia manjadi manusia.”
Kemudian cacing itu mengeluarkan uap, berproses dan akhirnya menjadi manusia, duduk bersujud di kaki Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ia menghormat kepada kedua wali yang dianggap sebagai guru dan penyebab ujudnya menjadi mulia.
Sunan Bonang : Kuterima sembahmu (penghormatanmu) mulai sekarang kamu bernama Syekh Lemah Abang, karena engkau berasal dati tanah liat yang merah rupanya.”
Kemudian Sunan Bonang berkata kepada Sunan Kalijaga, “Adi Sunan Kalijaga, itu suatu tanda ke Maha Kuasaan Allah SWT, tak dapat dipikir-pikirkan. Sebenarnya Adi Sunan Kalijaga sebelum diwejang pun telah menjadi kekasih Allah SWT. Yaitu pada waktu kamu hendak pergi haji ke Mekkah. Kamu disuruh kembali dan bertapa dibawah Titian Galinggang. Kamu tidur disitu 100 hari lamanya, andaikata kamu bukan kakasih Allah tentang badanmu sudah hancur lebur, kamu telah terpilih oleh Allah. Kehidupanmu akan abadi, walaupun badanmu akan hancur binasa. Kamu akan terus hidup, walaupun penghidupanmu takkan menghidupi. Semua wali belum pernah ada seorangpun yang telah menyeberangi lautan kematian (maut), ketempat yang telah kamu kerjakan. Aku ini seperti menghadapi botol di dalam gelas, dapat melihat maya (bukan barang yang sesungguhnya) tapi belum pernah merasakannya. Oleh karena itu bila setuju, tunjukilah aku, Adi Sunan Kalijaga, biarpun aku dikatakan orang, kerbau menyusu pada anaknya, wali berguru pada sahabat.”
Tentang asal usul Syekh Siti Jenar ini menjadi banyak versi, berbagai nama, dan tempat tinggal. Kontroversi ini patut dipertayakan, adakah sosok manusianya ?
Masyarakat Jawa ada yang memahami Syekh Siti Jenar membawa paham keagamaan yang disebut manunggaling kawula Gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan). Walaupun paham sufistik ini dianggap berasal dari sufi Persia (al-Hallaj), tetapi karena paham ini berkembang di jawa tentunya dalam bahasa Jawa dan diperlukan seorang tokoh yang dapat dianggap sebagai pembawa ajaran ini di Jawa.
Benarkah ajaran sufi Persia al-Hallaj sama dengan manunggaling kawula Gusti (nya) Syekh Siti Jenar atau mungkin dengan kajian lebih mendalam ?
Seorang penulis tentang Islam di Jawa, Umar Hasyim menulis :
Mereka mengingatkan bahwa peristiwa Siti Jenar hanyalah hayalan dan Siti jenar hanyalah tokoh yang diadakan saja untuk menyatakan pertentangan antara faham tashawuf Wihdatul Wujud dengan faham tashawuf yang benar-benar menurut Sunnah Rasul. Wihdatul Wujud itu ittihad atau tahallul yang dalam falsafah kejawen dinamakan manunggaling kawula Gusti adalah sesat. Tuhan (Gusti) adalah bersatu (manunggal) dengan makhluk (kawula), dan tentunya falsafah ini adalah kufur. Maka cerita Siti Jenar diadakan untuk memperingatkan kepada masyarakat bahwa ajaran munggaling kawula Gusti itu sesat dan berbahaya bagi ajaran Tauhid.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa Syekh Siti Jenar menganut faham manunggaling kawula Gusti, kita kutip sebuah kisah yang ditulis Mark R. Woodward :
Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syekh Siti Jenar. Ia menjelasakan bahwa Syekh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku seorang wali yang nomal. Syekh Maulana Maghribi berpendapat, hal ini akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariat Nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke Goa tempat Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke mesjid. Ketika mereka tiba, mereka diberitahu, hanya Allah yang ada dalam Goa. Mereka kembali ke mesjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya. Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke goa dan menyuruh Allah untuk segera menghadap para wali. Kedua santrinya itu kemudian diberitahu, Allah tidak ada dalam goa, yang ada hanya Syekh Siti Jenar. Mereka kembali ke Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik Allah maupun Syekh Siti Jenar. Kali ini Syekh Siti Jenar keluar dari goa dan dibawa ke mesjid menghadap para wali. Ketika ia tiba Syekh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang ke sini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang doktrin sufi. Di dalam musyawarah ini Syekh Siti Jenar menjelaskan, doktrin kesatuan makhluk, yaitu dalam pengertian akhir hanya Allah yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa digambarkan antara Allah, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri mengatakan doktrin itu benar, tetapi ia meminta jangan diajarkan karena bisa membuat kosong masjid dan mengabaikan syariah. Syekh Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.
Dari musyawarah ini menunjukkan bahwa yang menjadi masalah bukan substansi ajaran Syekh Siti Jenar tetapi penyampaian paham ini kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syekh Siti Jenar belum bisa disampaikan kepada masyarakat luas, sebab mereka bisa bingung. Apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk Islam.
Masih banyak lagi versi tentang asal usul Syekh Siti Jenar, namun belum ada yang membuka substansi keberadaannya secara logis, realistis dan sistematis.
Dari berbagai versi cerita ini ada beberapa nama lain dari Syekh Siti Jenar yang perlu menjadi perhatian untuk membuka tabir keberadaannya, karena tidaklah mungkin Kanjeng Sunan Bonang dalam serat Asmaradana menulis berbagai nama tanpa makna. Nama-nama tersebut adalah : Negeri Siti Jenar, Syekh Siti Jenar, Syekh Siti Brit, Syekh Siti Bang, Syekh Siti Luhung, Kasan Ali Saksar, Syekh Lemah Bang, Syekh Lemah Kuning dan San Ngali Ansar dan Raden Abdul Jalil.
Wejangan Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga diberikan diatas perahu disebuah telaga, bukan di sebuah ruangan yang tertutup rapat (rahasia). Tetapi sengaja memberikan wejangan diatas perahu, yakni perahu kehidupan untuk mengarungi telaga sufistik, cacing lembut pun mampu menelaah prosesi penyampaian wejangan itu. Atau mungkin memang cacing lur itu yang menjadi inti persoalan dari wejangan itu yaitu testes yang menghuni sperma.
AJARAN SUFI AL-HALLAJ DAN SYEKH SITI JENAR
Bagi mereka yang mengenal sejarah Islam, ia mengenal kata-kata Anal Haqq. Sebenarnya kata-kata ini sudah menggoda keawaman, apalagi kesalehan seorang muslim. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan riwayat dan kisah-kisah Mansur al-Hallaj (seorang sufi besar), namun mati dipancung di tiang gantungan penguasa Islam di Bagdad.
Diriwayatkan bahwa, pada saat-saat terakhir hukuman mati Manshur al-Hallaj ia masih memohon kepada Allah SWT untuk mengampuni dan memberi karunia kepada mereka yang sedang kerasukan membunuhnya.
Bagian akhir sanjak tiang gantungannya berkata :
YaaAllahdengarlahdukaku, bagi merekayang tinggalkelana, yang terseok, dan tersarukkarena buta, lebih butadari kawanan domba.
Ada apa Manshur al-Hallaj dengan Anal Haqq nya itu sampai naik ke tiang gantungan?
Kepentingan apa pula yang telah bermain sehingga pemerintah akhirnya membawa seorang sufi sebesar itu ke tiang gantungan dan membakar mayatnya supaya pupus ?
Samakah kasus Mansur al-Hallaj dengan kasus Syekh Siti Jenar ?
Sekilas terlihat pada keduanya hampir bersamaan, namun jika ditelisik dari keberadaannya sangat berbeda. Manshur al-Hallaj lebih bersifat sejarah ketimbang Syekh Siti Jenar. Sedangkan versi-versi Syekh Siti Jenar lebih cenderung sebagai bentuk interpretasi para sarjana dalam menerjemahkan tulisan Sunan Bonang dan tulisan para wali lainnya. Tetapi tidakkah sejarah itu juga lautan iman, ilmu dan hari depan. Dapatkan Allah SWT dipahami tanpa sejarah ? dapatkah Al-Quran, ilmu dan amalan terkaji diluar sejarah ?
Kita perkuat pembahasan ini dengan kisah lainnya. ketika Nadir Syah penakluk dari Persia telah menaklukkan Delhi, maka kaisarnya (Mughal Muhammad Syah) dihadapkan kepada Nadir Syah sebagai tahanan. Nadir Syah memperlakukan kaisar itu (juga seorang penyair) secara amat sopan sembari meminta kepada kaisar yang kalah itu untuk membacakan beberapa bait sajaknya. Untuk itu Mughal Muhammad Syah dengan tanpa persiapan membacakan bait :
“Ingat bukalah matamu dan ambillah pelajaran dari kebijaksanaan Ilahi”
“Betapa kealpaan kita mengangkat seorang Nadir (tokoh yang dikagumi)”
Bait itu begitu mempesona Nadir Syah si penakluk, sehingga ia menyerahkan kembali kerajaan itu kepada Mughal Muhammad Syah dan Nadir Syah balik pulang ke Persia.
Jika bukan karena mementingkan kehidupan dunia, seharusnya telah terbuka mata kita. Sejak abad-21 seluruh dunia dilanda krisis global, yakni krisis ekonomi dan krisis peradaban. Islam sebagai sosok agama diperangi oleh peradaban, hingga muncul Islam aliran keras dan sekte-sekte sesat, jihad fi sabilillah yang berubah menjadi teroris.
Mungkin karena tertinggalnya kajian Islam dari pada kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan senibudaya. Dari keadaan alam yang melapuk dan dari keakuan yang sedemikian kuatnya hingga membutuhkan pencerahan dan penerangan lugas mengenai kajian nilai-nilai Islam secara filosofis, logis, realistis dan sistematis dengan bahasa yang mudah dicerna masyarakat.
Islam harus bangkit dan berusaha untuk mampu mengatasi dunia yang semakin gelap ini. Kaum sufi memanggul obor cahaya, untuk mengungkap hakekat dan makrifat ilmu Nur Alam. Guna menerangi perilaku manusia dan peradaban yang semakin porak poranda. Merubah Islam yang kini masih dicap sebagai agama dogma dan kemabukan (jiwa sepi dari cahaya benderang) menjadikan Islam sebagai suluh dunia dan rahmat bagi sekalian alam.
Orang awam beranggapan bahwa sufistik hanya mempermasalahkan tentang mistik yang membahas hakekat dan marifat dan berujung pada pemahaman manunggaling kawula Gusti yang sudah dicap kufur. Padahal tanpa kajian sufistik, agama hanya sebagai dogma dan kemabukan dengan langkah terseok menuju kesadaran hampa.
Sekilas Tentang Ajaran Al-Hallaj
Husen bin Manshur al-Hallaj terkenal dengan ucapannya yang kotroversial, “Anal Haqq”, yang berarti Akulah Kebenaran. Menurut al-Hallaj, esensi Tuhan tidak dapat diketahui karena esensi Tuhan berada diluar kategori-kategoti pengetahuan intelektual. Hal ini merupakan prinsip dasar seluruh aktivitas manusia.
Dunia fana, data indrawi yang terbatas, konstruksi logis ataupun model analogi, sulit digunakan untuk memahami Tuhan yang berada di luar jangkauan alam pikiran. Pikiran yang dikembangkan dan dilatih dalam dimensi-dimensi ruang dan waktu tidak dapat keluar dari dunia kemakhlukan, sehingga pencapaian esensi Tuhan takkan pernah diketahui.
Melalui peniadaan kedirian, ke-tidak berdayaan, ke-fakiran dan ke-heningan manusia hanya sebagai upaya optimalisasi kesadaran diri hingga mampu menerima induksi gelombang halus. Sedangkan fenomena-fenomena, konstruksi logis, interpretasi dan kehilafan adalah tirai yang menutupi rahasia Tuhan yang abadi dalam keesaan-Nya. Sehingga jurang pemisah tetap ada antara yang terbatas dan yang tidak terbatas.
Akhirnya al-Hallaj berkata, “Yang benar tetap yang benar, pencipta sebagai Khaliq dan segala apa yang diciptakan tetap makhluk. Ini akan tetap demikian.”
Tetapi Ana sebagai perluasan dari kondisi manusia (tak terpisahkan dari kemakhlukan), mengemban peran mengukuhkan dalam kesadaran serta melakukan alienasi diri. Walaupun juga menyadari bahwa kondisinya diselimuti oleh kehadiran Tuhan yang abadi.
Ana terus menerus hidup dalam lingkungan Al-Haqq. Ini juga terlihat jelas bahwa Ana dan Al-Haqq tidak dapat menyatu, keduanya senantiasa terpisah dan jurang pemisahnya tetap tak terjembatani.
Namun dikalangan sufi, Anal Haqq” adalah syathahat, yaitu ungkapan ekstatis, yang diungkap ketika seseorang mengalami ekstase sewaktu berada dalam keadaan sukr (mabuk spiritual). Sukr adalah hilangnya kesadaran diri karena pengaruh spiritual yang kuat, misalnya tenggelam dalam zikir kepada Allah SWT dan menemukan Allah SWT dalam konsep spiritual (sama). Sukr adalah keberlimpahan cinta Allah SWT dalam hati dan berpuncak pada peleburan diri dalam Allah SWT, ketiada diriannya ditempati oleh induksi ke-Esaan-Nya.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal (Al Anfaal, 2).”
Karena itu dalam tasawuf, ajaran al-Hallaj tidak dapat disalahkan. Kalau hendak disalahkan hanyalah karena dia mendeklarasikan syathahat-nya, yaitu secara terbuka mengumumkan “Anal Haqq” kepada masyarakat luas. Sementara masyarakat luas yang tidak terbiasa dengan pengalaman sufistik akan kaget mendengar ungkapan itu.
Hukuman terhadap al-Hallaj lebih mengarah kepada persoalan politik dari pada agama. Boleh dikata, al-Hallaj hanyalah korban pertetangan politik pada masa itu. Kontroversial dalam keagamaan hanyalah bias dari informasi terbatas yang diterima. Ucapan “Anal Haqq” telah melambung popularitasnya dalam sejarah pemikiran Islam dan menjadi bahan kajian yang menarik sepanjang masa serta menjadi inspirasi lahirnya tokoh-tokoh serupa di belahan dunia.
Sekilas Tentang Ajaran Syekh Siti Jenar
Pengaruh ajaran al-Hallaj membuka wacana dalam berkembangnya paham manunggali kawula-Gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan). Paham ini bisa disebut pamoring kawula-Gusti, jumbuhing kawula Gusti, curiga manjing warangka, warangka manjing curiga dan kadang-kadang hanya disebut manunggaling.
Menurut Soesilo, Syekh Siti Jenar memandang semua makhluk dan alam semesta ini tersusun dalam suatu susunan yang hierarkis atau bangunan yang bertingkat. Sedangkan puncaknya adalah Allah. Setiap tingkatan berasal dari tingkatan yang lebih tinggi. Tingkatan ini terjadi kebawah dan keatas dengan jalan emanasi. Hanya manusialah yang memiliki kemampuan melakukan kenaikan tingkatan sampai kepada yang tertinggi, yaitu Allah.
Menurut Syekh Siti Jenar, kewajiban syariat, ritual-ritual formal seperti shalat, puasa, zakat dan haji, tidaklah diperlukan lagi pada saat mencapai puncak penyatuan hamba-Pencipta. Syekh Siti Jenar jelas menyatakan dirinya Tuhan dan Tuhan adalah dirinya (pada saat mencapai puncak penyatuan hamba-Pencipta). Akhirnya ajaran ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa pada saat manusia yang telah mencapai taraf penyatuan dengan Tuhan tidak lagi terbebani hukum. Perlu dipahami betul bahwa kondisi ini hanya sesaat dan sangat erat hubungannya dengan hidayah dari Allah SWT dari pada hasil ibadahnya.
Dari ajaran Syekh Siti Jenar kita bisa belajar untuk memahami sebuah dunia yang barangkali terlalu asing tetapi sangat menarik. Tasawuf adalah sistem berpikir, ajaran yang mengajarkan pendekatan diri kepada Tuhan sebagai tujuan akhir, dengan mengembangkan kehalusan (rasa dan perasan) dalam hati dan terealisasi pada lingkup tindakan yang baik.
Untuk memahami pengertian manunggaling ini tidaklah perlu meletakkan persepsi yang terlalu tinggi, karena jika terpeleset kekufuran yang didapat. Untuk itu pondasi hukum dan perangkat jasmani harus dipersiapkan dengan kuat, jika tidak prosesi manunggaling akan terhambat dan terselewengkan oleh bias-bias energi alam sekitarnya.
Sebagai ilustrasi untuk mempermudah pengertian ini, rubahlah tujuan manunggaling anda, misalnya kepada prosesi melukis. Ada dua pondasi yang harus diletakkan dengan kokoh :
a. Pondasi rohani (cinta buta) dengan semangat dan pemasrahan mewujudkan aura dan rasa.
b. Pondasi jasmani dengan ilmu (pewarnaan, media, teknik, imajinasi dan pemaknaan obyek lukisan) dan langkah nyata mewujudkan bentuk.
Dalam prosesi ini harus meniadakan kedirian anda (jangan merasa bisa dan jangan berpola pikir), fokuskan niat anda dan satukan rasa dan perasaan dengan obyek lukisan.
Tangan anda akan bergerak reflek dalam melukis termasuk memilih warna.
Pada saat rasa dan perasaan anda (subyek) menyatu dengan lukisan (obyek), itulah manunggaling subyek dengan obyek. Jika pada saat itu anda (subyek) dipanggil guru lukis anda, anda akan mengatakan “saya tidak ada yang ada lukisan”, karena subyek sedang fokus pada obyek. Ketika sang guru lukis memanggil lukisan (obyek), anda akan menjawab “lukisan tidak ada yang ada saya”, karena lukisan (obyek) terikat dengan anda (subyek). Tetapi ketika sang guru lukis memanggil subyek dan obyek, maka anda akan datang karena anda yakin bahwa yang akan dibicarakan oleh guru anda tentang prosesi anda melukis.
Realitanya, apakah anda menyatu dalam kesatuan yang utuh dengan lukisan ?
Ilustrasi ini disampaikan untuk mengingatkan, agar kita tidak terjebak dalam persepsi berdasarkan pengetahuan sempit dalam keakuan yang dimiliki. “Jadikanlah diri ini sebagai gelas kosong, sehingga banyak air (pengetahuan) yang dapat dituang kedalamnya”.
Ajaran Syekh Siti Jenar ditolah, terutama oleh penguasa pemerintahan Kerajaan Demak Bintara, sedangkan Walisongo membenarkan substansi ajarannya, tetapi melarang penyebarannya karena masyarakat belum siap untuk menerimanya.
Ajaran ini pernah ditumbuh kembangkan oleh Kebo Kenanga (Kiangeng Pengging) sebagai aliran Islam abangan. Secara politik dimanfaatkan oleh Kebo Kenanga untuk menarik simpati masyarakat guna menandingi kekuasaan Kerajaan Demak Bintara yang berpegang pada Islam aliran putih, Islam murni dari Timut Tengah secara tekstual.
Setelah Islam menguasai kehidupan agama di Jawa, menggantikan agama Hindu, timbullah penghayatan otonomi manusia yang unik akibat ajaran tasawuf. Yakni adanya ajaran tentang insan kamil (manusia sempurna) yang dalam tasawuf disebut manunggaling kawula-Gusti. Otonomi ini berkaitan dengan penghayatan kejiwaan yang bersifat metafiska, mengajarkan untuk melepaskan diri dari bentuk keakuan. Dimulai dari upaya mawas diri untuk mengenal dan menguasai nafsu, yaitu mengambil jarak dengan nafsu ammarah, lawwamah dan suffah untuk dapat menguasai diri dan membebaskan diri dari hambatan nafsunya.
Manunggaling kawula-Gusti berarti beradanya manusia dalam Tuhan. Di sanalah tempat sejati, kesanalah ia harus kembali. Juga berarti bersemayamnya Tuhan dalam diri manusia, sebagaimana dijelaskan dalam Serat Wedatama Pupuh Pucung, bait ke-12 :
Bathara gong, inguger jejantung/jenet hyang wisesa,
Sana pasanetan suci,
Nora kaya simudha mudharangkara.
Artinya :
“Tuhan yang Agung disemayamkan dalam pusat jantung, disitu kesukaan Hyang Maha Kuasa, itulah singgasana yang tersembunyi. Tidak demikian bagi para muda yang mengikuti nafsu angkara murka.”
Menurut PJ. Zoetmulder, paham tentang bersemayamnya Tuhan dalam diri manusia tidak berdiri sendiri, tetapi ada presedennya dalam tasawuf. Di sana kita berjumpa dengan bersemayamnya Tuhan dalam hati manusia, yakni bagian yang paling halus dalam hati manusia yang dinamakan sirr (rahasia).
Dalam Al-Quran, sirr atau induksi gelombang alam itu disebut sebagai tahta kesadaran. Dalam kemampuan menerima induksi gelombang alam yang dianut oleh al-Hallaj, memainkan peranan penting dalam mempertahankan dan mengembangkan data dari Al-Quran bahwa hati (jantung) merupakan organ yang disiapkan Allah bagi kontemplasi. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Ar Rad ; 28)
Sedangkan hati itu bersekat : Ruhul Qudus, Ruhul Quwwatin, Ruhul Qowwabin, Ruhul Islah, Ruhul Amin dan Ruhul Muqorrobin. Terbukanya sekat hati ini membentuk sentra jati diri yang kokoh yang disebut “mutiara suci.”
Fungsi itu tidak dapat dilakukan tanpa organ, karena organ menggiring manusia pada kesadaran akan komponen tubuh, fungsi masing-masing komponen, interaksi fungsi antar komponen dan sistematika universal komponen tubuh. Tujuannya ialah terbukanya sekat hati, menyucikan hati dan memuliakan hati. Nabi Muhammad SAW bersabda : “Maha Suci Allah, dengan memuji kepadaNya sebanyak makhlukNya, seluas keridhaan diriNya, berat timbangan ArsyNya, dan sepanjang kalimat-kalimatNya." (Sunan Abu Daud 1285)
Al-Hallaj mencoba memuliakan perkembangan terakhir itu, yang tak terhingga meliputi hati. Jika sirr masih berada di tengah-tengah nafsu-nafsu, merupakan kepribadian yang masih tidur (mati), kesadarannya masih terliputi. Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti. (Al Baqarah ; 73)
Yang dimaksud dengan sebagian anggota sapi betina adalah hakekat dari ayat-ayat Al Baqarah yang dapat membangunkan kesadaran manusia untuk dapat menerima sirr.
Selama Tuhan tidak mengunjungi sirr, kepribadian yang tertidur itu tetap tanpa wujud, itulah sarirah, semacam kata ganti yang tidak pasti, “aku” yang masih bersifat sementara.
Jika manusia bersedia meninggalkan selaput terakhir (terbuka sekat) dari hatinya, maka Tuhan membuahinya, memasukkan dhamir, kepribadiannya yang jelas dan definitive, “kata ganti” yang sah, hak untuk berkata “aku.” Hak itu mempersatukan manusia suci dengan sabda Ilahi dengan “kun” karena Ruhul Qudus mampu menerima induksi dari Allah SWT.
(Sesudah al-Ghazali menyamakan cahaya dengan Ada dan kegelapan dengan Tiada, ia meneruskan). Ada pun dapat dibagi, menurut Ada dari dirinya sendiri dan Ada yang berasal dari pihak lain. Yang terakhir itu mempunyai Ada yang berasal dari sumber lain yang tidak mandiri. Yang Adanya, hanya bersifat relasi terhadap sesuatu yang lain dan itu sebetulnya bukan Ada yang nyata seperti telah anda lihat dalam perumpamaan tentang busana yang dipinjamkan oleh orang kaya. Yang sungguh Ada ialah Allah, sama seperti Cahaya sejati ialah Allah. (PJ. Zoetmulder; 28-29)
Dalam Kitab Bonang yang dianggap selaras dengan ajaran putih disebutkan : Sesungguhnya adanya Tuhan itu bersifat tunggal, langgeng, mahasuci dan itu bukan sesuatu yang lain daripada ada-Nya (kodrat-Nya) yang tidak material, yang pada awal mula memberikan Ada kepada segala sesuatu. Sesungguhnya Ia tidak termasuk alam kebendaan, tidak menjiwai dan tidak dijiwai, tidak berbaur dengan buah ciptaan-Nya karena Ia ada sebelum segala sesuatu dan bersifat langgeng dan mahasuci, sifat-Nya yang lepas dari kebendaan meliputi segala sesuatu, Maha Sempurna, Maha Elok, Mahamulia, Mahatinggi, dan Mahaluhur. Mengenai hakekat-Nya, tak seorangpun tahu akan sifat-Nya yang lepas dari kebendaan (suksma), hanya Ia sendiri maklum akan jiwa-Nya.
Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengertian itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri. Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran tertinggi yang dapat dicapai manusia. Tataran ini adalah Insan Kamilnya Muslimin, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan.
Yang penting bagi kita bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan kebenaran secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih dari memperkokoh langkah nyata. Langkah nyata atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.
Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan atau aturan tertentu, boleh percaya tidakpun boleh.
Garis khatulistiwa ilmiah (diterangkan diatas) tidak dapat ditolak dalam mengemban amanah (Khalifah) Allah SWT. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Al Anbiyaa ; 107). Sehingga ibadah kita seimbang lahir-batin.
Jika ibadah tanpa mengenal hakekat dan makrifat, maka ibadahnya bagaikan tubuh tanpa ruh. Dan jika ibadah hanya hakekat dan makrifat tanpa syariat, maka ibadahnya bagaikan ruh tanpa tubuh.
Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi awal abad ke-21 ini, buku-buku agama Islam dari Timur Tengah dengan mudah didapatkan. Dan karena tertarik dengan pelaksanaan Fiqih berdasarkan Al-Quran dan Hadits yang murni, KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi keagamaan yang dikenal dengan “Muhammadi-yah” pada tahun 1912. Mereka menamakan modernisasi Islam yang berpedoman hanya kepada Al-Quran dan Hadits, ajaran-ajaran lainnya yang berbau budaya dan tasawuf dipenggal, keberadaan Walisongo dianggap hanya legenda dan gagal total.
Pada awalnya organisasi ini diikuti oleh kaum intelektual, namun sekarang sudah berkembang ke semua lapisan masyarakat.
Ada dua pertanyaan fundamental yang diajukan KH Ahmad Dahlan :
- Apakah saudara-saudara tahu betul apa agama Islam itu ?
- Apa saudara berani beragama Islam ?
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbu-at dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Maaidah ; 3)
Kulitnya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu,” isinya terletak pada kalimat-kalimat sebelumnya. Menjalankan isi (tekstual) benar, namun lebih bijak lagi jika menjalankan dengan kontekstual (hakekat dan makrifat)nya, hingga isi ada dalam kulit berbulu indah dan bercahaya.
Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni-budaya berkembang dengan pesatnya. Kecerdasan dan intelektual masyarakat melampaui nilai-nilai agama yang dipahami. Sehingga Al-Quran dan Hadits tidak lagi dijadikan rujukan dalam ilmu, prosesi ibadah sudah bergeser menjadi rekreasi iman dan penyejuk jiwa sesaat.
Syekh Abdul Qodir Jailani pernah menjelaskan kepada salah seorang muritnya : “ janganlah anda merasa menguasai ilmu sufi, sebelum anda memahami tugu sufistik”. Tugu sufistik itu ada delapan kajian yang harus disadari untuk menjadikan diri penyelam Islami Kaffah :
1. Langkah nyata, dalam diri merupakan kesadaran jasmani bahwa dalam diri ada pikir, niat dan kehendak yang dapat berinteraksi dengan keberadaan alam sekelilingnya. Gunakan panca indra sebagai sensorik, juga rasa sebagai irritabilitas, kemudian olah dalam otak, pastikan dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan saring berdasarkan niat luhur.
Gunakan “ Hu Allah “ sebagai dasar atau pondasi.
2. Budi Luhur, sebagai refleksi dalam mensikapi permasalahan dengan kejernihan hati, kejujuran hati dan ketepatan kedudukan hati. Satukan dalam suatu refleksi (budaya) sikap diri, kecenderungan ini dibakukan oleh pakem-pakem titian diri yang telah ditetapkan Allah sebagai sejatinya diri.
Gunakan oleh rasa “ lahaula wa laquwata illah billah ” sebagai dasar atau pondasi.
3. Ilmu yang Luhur, ilmu yang diolah oleh kecerdasan dan kemulyaan pikir, sehingga tidak sempat lagi berpikir buntu karena sarat dengan kehendak yang tidak sejalan dengan titian diri. Kesempurnaan rasa dan perasaan yang memberi jalan kepada titian diri. Tatakan ini penting bagi pemikir karena kebanyakan diantara manusia mengolah berdasarkan kehendak.
Gunakan “subhanallah hal adzim ” sebagai dasar atau pondasi.
4. Berpikir Mulia, tempatkan rekayasa diri pada kemaslahatan ummat, bukan untuk kerugian dan bukan untuk diri sendiri.
Gunakan tatakan “Alhamdulillahi robbil alamin ” sebagai dasar atau pondasi.
5. Pemasrahan yang Nyata, tidak perlu merekayasa apa-apa yang belum datang waktunya. Sempurnakanlah tatakan diri pada kenyataan yang ada, jangan salahkan orang lain, tetapi olah diri sendiri agar dapat mensikapi apa-apa yang ada dalam diri dan alam sekitarnya.
Gunakan bahasamu “ tidak tau apa-apa dan tidak punya apa-apa ” sebagai dasar atau pondasi.
6. Berpedoman sifat Nabi sebagai Hamba, olah diri dalam kesadaran lahir batin, sempurnakan sistematika (siklus) diri yang tidak akan pernah berhenti kecuali sudah selesai tugas hidup.
Jumeneng roh ingsun, roh Muhammad, diamkan kemampuan diri seolah-olah tidak ada, tetapi yang ada hanya wakil Allah dalam diri yaitu Nur Muhammad. Olahan diri ini hanya dalam diri dan tidak untuk keluar, karena pada diri yang kuat dialah sang kekasih Allah. Tanpa menganggap diri yang menentukan langkah hidup dan kehidupan. Kuncinya dalam rasa, alam pikir dan semangat diri yang ada dalam diri sendiri. Langkah diri akan keluar manakala diperlukan.
Gunakan “ Sodaqollahul adzim ” sebagai dasar atau pondasi.
7. Berpedoman sifat Rasul sebagai Hamba, sifat ini semulya-mulyanya langkah. Langkah nyata (keluar) setelah pengolahan diri matang dalam keseimbangan Rahmatan lilalamin. Tidak untuk diri sendiri tetapi untuk kemaslahatan alam sekitarnya.
Gunakan “ Qolu samina wa atona, khufronaka robbana wa ilaikal masyiir ” sebagai dasar atau pondasi.
8. Sesungguhnya Akulah Allah, tidak ada Allah kecuali Aku, hati-hati dalam hal ini, karena mudah terpeleset.
Jika mampu menanggalkan akunya diri (kedirian) dan yang ada hanya sistematika baku dari berbagai proses alam, maka yang ada dalam diri hanyalah induksi dari Allah yang diyakini dengan Haqqul Yakin, dibawah itu belum bisa.
Kedudukan diri tidak ada kecuali Allah dan Allah pun tidak ada (berubah menjadi bayangan Allah) manakala dibutuhkan alam, secara jasmani. (hati-hati betul dalam hal ini)
Tunggu langkah yang ditetapkan Allah (sesuai dengan sistematika alam). Sempurnakan ketiada dirian, sampai Allah terinduksi dalam Nur Muhammad (kemulyaan diri). Yang lain tidak ada.
Gunakan “ Innalillahi wa inna lilaihi rojiun ” sebagai dasar atau pedoman.
9. Air Kehidupan, sebagai akulmulasi kemampuan diri dalam kemulyaan diri, yang menyatu (berinteraksi) dalam sifat air yang meliputi seluruh dimensi di alam semesta.
Ingat, jangan berlebihan, gunakan sebatas kepentingan.
Gunakan “ innallaha Qun fa yaqun ” sebagai dasar atau pondasi.
Ilustrasi lukisan ini hanya sebagai sudut pandang, bukanlah kebenaran mutllak. Akan tetapi lebih bijak manakala anda dapat mengkaji lebih lanjut sesuai dengan sifat dan keberadaan anda. Yang penting anda merujuk pada kitab suci yang bagaikan intan berlian, jika dipandang dari sudut manapun tetap bercahaya, yang keberadaannya tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas. Itulah kitab suci dari Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Jika demikian, bukanlah aku yang paling benar, juga bukan aku yang paling pandai dan juga bukan aku yang harus dipentingkan. Aku hanya seonggok daging yang tak tau apa-apa dan tak punya apa-apa. Aku hanya mengajak aku-aku lainnya untuk saling berbagi kasih sayang dalam menjaga keseimbangan alam yang semakin menipis.
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al Anbiyaa, 107)
Wallahu alam bisysyawaf.
http://www.alamsuar.com/berita-164-prosesi-pemancungan-siti-jenar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar