Kondisi masyarakat pada jaman para wali tantangan hidup dan kehidupan
tidaklah seberat jaman modern, dimana masyarakat lebih cerdas, kritis
dan inovatif. Materialistis, realistis, logis dan sistematis lebih
cenderung dipilih oleh masyarakat ilmiah sekarang ini dari pada Al-Quran
dan Al-Hadits. Karena nilai antara pengembangan kajian pemikiran dan
keyakinan hati (iman) tidak seimbang. Kalaupun ada, mungkin hanya
sekedar obat penyejuk rutinitas, obat kebingungan dan kegalauan hati.
Hal ini terbukti pada keberadaan para penyampai ilmu agama dan ilmu
ilmiah masih terpisah. Nabi Muhammad SAW bersabda: "
Akan datang kepada manusia suatu masa yang ketika itu orang yang sabar di atas agamanya seperti menggenggam bara api." (Sunan Tirmidzi 2186).
Perkembangan ilmiah masih merujuk kepada teori-teori barat dengan
filosofi mekanisme, bukan merujuk kepada Al-Quran dan Al-Hadits yang
merupakan sumber dari filosofi keilmuan. Nabi Muhammad SAW bersabda: "
Aku
ditolong dengan perantaraan angin yang berhembus dari timur (belakang
pintu Kabah) sedangkan kaum Aad dibinasakan dengan angin yang berhembus
dari barat." (Shahih Bukhari 977). Angin yang berhembus dari barat
bersifat empiris, sedangkan angin yang berhembus dari timur bersifat
rasa dan perasaan (non empiris).
Tugas para intelektual Islam sangat berat, karena harus membuktikan
bahwa al-Quran benar-benar multi dimensional, tak lekang oleh panas, tak
lapuk oleh hujan dan tak usang oleh masa.
Kemajuan ilmiah sangat diharapkan untuk menjembatani terbukanya
universalitas nilai-nilai Islam seutuhnya. Aliran-aliran Islam
selayaknya lebur diri dengan kaji ulang pemahaman berdasarkan garis
khatulistiwa ilmiah. Hingga tidak ada lagi yang menyatakan saya yang
paling benar, tidak ada lagi madzhab, adanya hanya Islam rahmat sekalian
alam.
Garis khatulistiwa ilmiah adalah sebuah garis imajinasi ilmiah dengan lintasan bumi dan lintasan langit :
- Lintasan bumi : meliputi Karakterisasi (observasi dan pengukuran) dan Eksperimen (pengujian). Dengan kata lain pengetahuan (syariat) menuju pengertian (tarekat).
- Lintasan langit : meliputi Hipotesis (dugaan teoretis atas hasil observasi dan pengukuran) dan Prediksi (deduksi logis dari hipotesis). Dengan kata lain pengenalan (hakekat) menuju realisasi dalam langkah nyata (makrifat).
Upaya peletakan dasar Islam di Nusantara diperankan oleh para wali
mengalami banyak batu sandungan. Keselarasan kajian dengan kondisi
masyarakat sangat penting hingga memerlukan kemampuan dan kecerdasan,
sebagaimana dialami walisongo. Mereka harus mengekang diri dalam
penyampaian dasar Islam agar sesuai dengan kemampuan dan kecerdasan
masyarakat.
Kontroversi ajaran Siti Jenar menjadi momok kesemrawutan peletakan
dasar Islam di Jawa, karena pada kenyataannya mereka mudah memprofokasi
masyarakat yang masih lemah kemampuan intelektual dan keislamannya.
Namun kondisi itu sampai sekarang masih melekat di masyarakat dan
membentuk berbagai aliran Islam termasuk berbagai aliran penghayat
kebatinan dengan atribut budaya.
A. Riwayat Siti Jenar
Pangeran Jayaningrat pahlawan agung Majapahit yang konon masih
keturunan Mahapatih Gajahmada berhasil menangkis dan menumpas
pembangkangan Raja Menak Badong dari Bali kepada Prabu Brawijaya V.
Begitu bangganya Prabu Brawijaya V atas keberhasilan Pangeran
Jayaningrat hingga dinikahkan dengan putri sulungnya (Putri Pembayun).
Dari pernikahan ini mempunyai 3 anak : Kebo Kanigara, Kebo Kenanga dan
Kebo Surastri (meninggal pada umur tiga tahun).
Melihat kehebatan ayahandanya pantas jika Raden Pattah meletakkan
kecurigaan, kekhawatiran dan kewaspadan kepada Kebo Kenanga yang masih
terhitung keponakan. Selain dalam dirinya mengalir darah pejuang besar,
Kebo Kenanga dikenal bersahabat erat dengan puluhan ketua wilayah tanah
Jawa yang kesemuanya menjadi murit Syekh Siti Jenar disamping
murit-murit lainnya yang berjumlah ratusan orang.
Nampaknya kehawatiran Raden Pattah terhadap Kebo Kenanga cukup
beralasan, karena Kebo Kenanga telah terang-terangan menunjukkan
penentangannya dengan memberi kesan menyepelekan titahnya. Telah dua
kali Raden Pattah mengutus orang kepercayaannya ke Pengging untuk
meminta Kebo Kenanga datang menghadap ke Demak. Namun dua kali pula Kebo
Kenanga tidak bersedia datang menghadap ke Demak.
Setelah Kebo Kenanga memahami ilmu Syekh Siti Jenar, ia menjadi
tinggi hati dan bersikap menjelek-jelekan serta mencemooh ajaran Islam
yang disampaikan walisongo. Bahkan Pemerintah Kerajaan Demak Bintara
diremehkan dan diolok-olok sebagai melakukan perbuatan tidak pantas.
Demikian pula masjid yang merupakan tempat suci, sarana banyak orang
berbuat baik menuju keselamatan dan kebajikan dihinakan.
Kebo Kenanga menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat sehingga
ajarannya meluas dan meresap dalam masyarakat desa diluar Pengging dan
banyak orang yang menyetujui pendapatnya serta menjadi pengikutnya.
Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa alam kematian adanya didunia ini.
Dan di dunia ini pula adanya sorga dan neraka, pahala dan dosa. Keadaan
itulah yang dialami manusia selagi hidup di dunia
yang dapat
dibuktikan dengan banyak tanda-tanda yang nyata. Meskipun demikian, para
waliullah salah terima dan menyebut sekarang ini hidup, sedang besok
disebut mati !. Dalam meperdalam pendapat itu, Siti Jenar siang
malam berusaha mensucikan budi serta menguasai ilmu luhur demi kemulyaan
jiwanya.
Kepada murit-muritnya ia mengajarkan ;
pertama-tama diberitahukan asal-usul kehidupan,
kedua diberitahukan pintu kehidupan,
ketiga diberitahukan tempat besok bila sudah hidup kekal dan abadi, dan
keempat
memberitahukan tempat alam kematian (didunia ini). Oleh karena itu
murit Kebo Kenanga yang sudah beranggapan menguasai dan menyakininya,
mereka mengharap-harap untuk hidup. Mereka tidak tahan lagi menjalani
kematian di dunia ini.
Sungguh sangat disayangkan, memberikan pemahaman kepada masyarakat
yang masih belum mampu tingkat keislaman dan intelektualnya. Mereka
dihadapkan kepada pembahasan filosofis yang masih memerlukan realisasi
pengkajiannya lebih lanjut. Mungkin yang dimaksud murit-murit Kebo
Kenanga tentang ilmu Syekh Siti Jenar adalah Firman-nya :
- Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah
dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan
melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau
mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal
yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman
mereka), (An Nisaa ; 66)
- Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan
main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan,
kalau mereka mengetahui.(Al Ankabuut ; 64)
Kajian abstrak direalisasikan dalam langkah kongkrit tidak akan
pernah ada titik temunya. Sehingga penyimpangan perilaku mewarnai
murit-muritnya. Mereka membuat keributan dan kekacauan, mengamuk
dijalanan, sengaja bertekat mencari masalah demi mencapai apa yang
diinginkannya yaitu menempuh kehidupan sejati.
Sebagian dari mereka ditangkap dan ditanya oleh Sultan Demak Bintara (Raden Pattah) “
Hai kamu sekalian, mengapa kamu berbuat yang tidak patut terhadap sesamamu?” Menjawab salah seorang diantaranya dengan bahasa Jawa yang kurang hormat kepada Raja. “
Aku
mencari jalan yang menuju hidup sejati! Tidak tahan terlalu lama
menjalani kematian. Kami semua murit pangeran Siti Jenar, yang sangat
pandai dalam ilmu luhur. Ternyata alam ini alam kematian. Aku bosan dan
muak melihat bangkai-bangkai berserakan dan berkeliaran ke mana-mana
yang banyak sekali jumlahnya. Raja, penghulu, patih, jaksa semuanya
adalah bangkai-bangkai yang bertutur. Para aulia, walisanga,
santri-santri, kyai-kyai semuanya adalah bangkai yang tidak tahu
apa-apa. Meskipun demikian, mereka bersikap sombong, sebagai orang mati
memberi pengertian untuk menyembah Hyang Agung, wujud yang disebut
Allah, sesungguhnya dunia ini tidak dapat mengetahui sifat-sifat Hyang
Sukma.”
Mensikapi keberadaan murit Kebo Kenanga itu Sultan Demak Bintara
mengutus dua orang yang akhli (dalam menelaah ilmu) untuk menyelidiki
seluk-beluk ajaran Syekh Siti Jenar di daerah Kredhasawa.
Setelah kembali ke Demak utusan itu didampingi oleh Patih Radyan
Dipati Wanassalam menghadap Sultan Demak Bintara. Dan setelah menerima
laporan utusan itu Sultan Demak Bintara terheran-heran dan berkata :
“Wahai paman Patih, bagaimanakah pendapat pamanda untuk memberantas
penjahat murit-murit Kebo Kenanga yang majenun itu ? Kalau masalah ini
dibiarkan merejalela, membuka rahasia alam, malapetaka jadinya.”
Radyan Dipati Wanassalam menjawab : “Aduh bagaimana Sri Sultan
Bintara. Seyogyanya paduka menemui para waliullah dan memberitahukan
bahwa ada orang yang merusak agama Islam serta merongrong peraturan yang
berlaku. Karena dia seorang mukmin, lagipula mendapat sebutan Pangeran
Wali, hal ini membuktikan bahwa dia orang yang pandai menguasai ilmu
serta peraturan agama. Oleh karena itu sebaiknya diserahkan kepada ke
bijakan Walisongo.”
Kemudian Sultan Demak Bintara segera mengenakan busana kerajaan dan menuju ke Masjid menjumpai Walisongo.
B. Asal Usul Siti Jenar
Dalam Babad Tanah Jawa (Galuh Mataram), disebutkan bahwa pada suatu
saat ada pertemuan para wali di Giri Kedaton Gresik. Dalam pertemuan itu
Sunan Bonang berkata dihadapan para wali, “wahai saudaraku Sunan Giri,
anggota Walisongo di Jawa ini telah lengkap delapan orang, Sunan
Kalijaga-lah yang menjadi penutup”.
Sunan Giri meyetujui usul Sunan Bonang itu, para wali yang lainnya
juga tidak ada yang keberatan, tetapi justru Sunan kalijaga sendiri
merasa keberatan.
Berkata Sunan Kalijaga :
“Hamba menjadi sunan, tetapi belum pernah mendapat-petunju-petunjuk. Bila tidak keberatan, hamba mohon petunjuk-petunjuk”.
Sunan Bonang menyanggupi lalu pergilah mereka berdua menuju sebuah
telaga dan naik sebuah perahu. Ketika perahu yang dinaikinya bocor,
Sunan Bonang menyuruh Sunan kalijaga mengambil tanah liat untuk menambal
perahu itu.
Bulan penuh sedang memancarkan cahaya yang lembut. Suasana di telaga
terasa tenang, tiada riak air yang membuat bunyi, tak ada angin yang
mendesir. Ketenangan dan ketentraman melingkupi kedua makhluk diatas
perahu itu, bagaikan suasana keheningan tengah malam jalannya pelajaran
ilmu hikmah tingkat tinggi dari Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga.
Seperti orang bermain teka-teki, Sunan Bonang memperluas kias :
Sunan Bonang :
“Ada suluh menyala dengan empat pusat, kalau api padam kemana perginya?”
Sunan Kalijaga :
“Api pergi ke suluk tidak bercahaya.” Jawaban itu betul, karena ia dapat menerima dengan baik bersamaan turunnya wahyu kepadanya.
Sunan Bonang :
“Jangan sekali-kali kau ucapkan atau kau ajarkan
wejangan ini, karena ini adalah ilmu ghaib (ilmu rahasia). Kalau ini
sampai terdengar makhluk lain, apapun ujudnya dan walaupun ia kafir
asalkan mengerti maksudnya, ia akan menjadi manusia yang sempurna (insan
kamil).”
Tiba-tiba ada seekor cacing lur (cacing halus) yang mengerti akan wejangan Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga.
Cacing yang nempel di tanah liat penambal perahu itu berkata :
“Wahai
Kanjeng Sunan berdua, hamba dengan tidak sengaja ikut mendengar segala
wejangan yang tuanku bicarakan. Hamba dapat mengerti, sehingga
rasa-rasanya hamba akan jadi manusia.”
Bertanya Sunan Kalijaga
: “Siapa Kau ?”
Cacing lur berkata :
“Hamba Cacing lur yang ada di dalam tanah liat yang tuanku pakai untuk menambal perahu.”
Sunan Bonang : “
Sudah menjadi takdir Allah, cacing lur karena mendengar wejangan ini, ia manjadi manusia.”
Kemudian cacing itu mengeluarkan uap, berproses dan akhirnya menjadi
manusia, duduk bersujud di kaki Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ia
menghormat kepada kedua wali yang dianggap sebagai guru dan penyebab
ujudnya menjadi mulia.
Sunan Bonang :
Kuterima sembahmu (penghormatanmu) mulai sekarang
kamu bernama Syekh Lemah Abang, karena engkau berasal dati tanah liat
yang merah rupanya.”
Kemudian Sunan Bonang berkata kepada Sunan Kalijaga, “
Adi Sunan
Kalijaga, itu suatu tanda ke Maha Kuasaan Allah SWT, tak dapat
dipikir-pikirkan. Sebenarnya Adi Sunan Kalijaga sebelum diwejang pun
telah menjadi kekasih Allah SWT. Yaitu pada waktu kamu hendak pergi haji
ke Mekkah. Kamu disuruh kembali dan bertapa dibawah Titian Galinggang.
Kamu tidur disitu 100 hari lamanya, andaikata kamu bukan kakasih Allah
tentang badanmu sudah hancur lebur, kamu telah terpilih oleh Allah.
Kehidupanmu akan abadi, walaupun badanmu akan hancur binasa. Kamu akan
terus hidup, walaupun penghidupanmu takkan menghidupi. Semua wali belum
pernah ada seorangpun yang telah menyeberangi lautan kematian (maut),
ketempat yang telah kamu kerjakan. Aku ini seperti menghadapi botol di
dalam gelas, dapat melihat maya (bukan barang yang sesungguhnya) tapi
belum pernah merasakannya. Oleh karena itu bila setuju, tunjukilah aku,
Adi Sunan Kalijaga, biarpun aku dikatakan orang, kerbau menyusu pada
anaknya, wali berguru pada sahabat.”
Tentang asal usul Syekh Siti Jenar ini menjadi banyak versi, berbagai
nama, dan tempat tinggal. Kontroversi ini patut dipertayakan, adakah
sosok manusianya ?
Masyarakat Jawa ada yang memahami Syekh Siti Jenar membawa paham keagamaan yang disebut
manunggaling kawula Gusti
(menyatunya manusia dengan Tuhan). Walaupun paham sufistik ini dianggap
berasal dari sufi Persia (al-Hallaj), tetapi karena paham ini
berkembang di jawa tentunya dalam bahasa Jawa dan diperlukan seorang
tokoh yang dapat dianggap sebagai pembawa ajaran ini di Jawa.
Benarkah ajaran sufi Persia al-Hallaj sama dengan manunggaling kawula
Gusti (nya) Syekh Siti Jenar atau mungkin dengan kajian lebih mendalam ?
Seorang penulis tentang Islam di Jawa, Umar Hasyim menulis :
Mereka mengingatkan bahwa peristiwa Siti Jenar hanyalah hayalan dan
Siti jenar hanyalah tokoh yang diadakan saja untuk menyatakan
pertentangan antara faham tashawuf Wihdatul Wujud dengan faham tashawuf
yang benar-benar menurut Sunnah Rasul. Wihdatul Wujud itu ittihad atau
tahallul yang dalam falsafah kejawen dinamakan
manunggaling kawula Gusti adalah
sesat. Tuhan (Gusti) adalah bersatu (manunggal) dengan makhluk
(kawula), dan tentunya falsafah ini adalah kufur. Maka cerita Siti Jenar
diadakan untuk memperingatkan kepada masyarakat bahwa ajaran
munggaling kawula Gusti itu sesat dan berbahaya bagi ajaran Tauhid.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa Syekh Siti Jenar menganut faham
manunggaling kawula Gusti, kita kutip sebuah kisah yang ditulis Mark R. Woodward :
Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia
mengajukan masalah Syekh Siti Jenar. Ia menjelasakan bahwa Syekh Siti
Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini
bukanlah perilaku seorang wali yang nomal. Syekh Maulana Maghribi
berpendapat, hal ini akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa
membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariat Nabi Muhammad.
Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke Goa tempat Siti
Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke mesjid. Ketika mereka tiba,
mereka diberitahu, hanya Allah yang ada dalam Goa. Mereka kembali ke
mesjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.
Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke goa dan menyuruh Allah
untuk segera menghadap para wali. Kedua santrinya itu kemudian
diberitahu, Allah tidak ada dalam goa, yang ada hanya Syekh Siti Jenar.
Mereka kembali ke Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh
mereka untuk meminta datang baik Allah maupun Syekh Siti Jenar. Kali ini
Syekh Siti Jenar keluar dari goa dan dibawa ke mesjid menghadap para
wali. Ketika ia tiba Syekh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali
yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya
diundang ke sini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang doktrin
sufi. Di dalam musyawarah ini Syekh Siti Jenar menjelaskan, doktrin
kesatuan makhluk, yaitu dalam pengertian akhir hanya Allah yang ada dan
tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa digambarkan antara
Allah, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri mengatakan doktrin
itu benar, tetapi ia meminta jangan diajarkan karena bisa membuat
kosong masjid dan mengabaikan syariah. Syekh Siti Jenar menjawab bahwa
ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi perilaku keagamaan orang
bodoh dan kafir.
Dari musyawarah ini menunjukkan bahwa yang menjadi masalah bukan
substansi ajaran Syekh Siti Jenar tetapi penyampaian paham ini kepada
masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syekh Siti Jenar belum bisa
disampaikan kepada masyarakat luas, sebab mereka bisa bingung. Apalagi
saat itu masih banyak orang yang baru masuk Islam.
Masih banyak lagi versi tentang asal usul Syekh Siti Jenar, namun
belum ada yang membuka substansi keberadaannya secara logis, realistis
dan sistematis.
Dari berbagai versi cerita ini ada beberapa nama lain dari Syekh Siti
Jenar yang perlu menjadi perhatian untuk membuka tabir keberadaannya,
karena tidaklah mungkin Kanjeng Sunan Bonang dalam serat Asmaradana
menulis berbagai nama tanpa makna. Nama-nama tersebut adalah : Negeri
Siti Jenar, Syekh Siti Jenar, Syekh Siti Brit, Syekh Siti Bang, Syekh
Siti Luhung, Kasan Ali Saksar, Syekh Lemah Bang, Syekh Lemah Kuning dan
San Ngali Ansar dan Raden Abdul Jalil.
Wejangan Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga diberikan diatas perahu
disebuah telaga, bukan di sebuah ruangan yang tertutup rapat (rahasia).
Tetapi sengaja memberikan wejangan diatas perahu, yakni perahu kehidupan
untuk mengarungi telaga sufistik, cacing lembut pun mampu menelaah
prosesi penyampaian wejangan itu. Atau mungkin memang cacing lur itu
yang menjadi inti persoalan dari wejangan itu yaitu testes yang menghuni
sperma.
AJARAN SUFI AL-HALLAJ DAN SYEKH SITI JENAR
Bagi mereka yang mengenal sejarah Islam, ia mengenal kata-kata Anal
Haqq. Sebenarnya kata-kata ini sudah menggoda keawaman, apalagi
kesalehan seorang muslim. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan riwayat
dan kisah-kisah Mansur al-Hallaj (seorang sufi besar), namun mati
dipancung di tiang gantungan penguasa Islam di Bagdad.
Diriwayatkan bahwa, pada saat-saat terakhir hukuman mati Manshur
al-Hallaj ia masih memohon kepada Allah SWT untuk mengampuni dan memberi
karunia kepada mereka yang sedang kerasukan membunuhnya.
Bagian akhir sanjak tiang gantungannya berkata :
YaaAllahdengarlahdukaku, bagi merekayang tinggalkelana, yang terseok, dan tersarukkarena buta, lebih butadari kawanan domba.
Ada apa Manshur al-Hallaj dengan Anal Haqq nya itu sampai naik ke tiang gantungan?
Kepentingan apa pula yang telah bermain sehingga pemerintah akhirnya
membawa seorang sufi sebesar itu ke tiang gantungan dan membakar
mayatnya supaya pupus ?
Samakah kasus Mansur al-Hallaj dengan kasus Syekh Siti Jenar ?
Sekilas terlihat pada keduanya hampir bersamaan, namun jika ditelisik
dari keberadaannya sangat berbeda. Manshur al-Hallaj lebih bersifat
sejarah ketimbang Syekh Siti Jenar. Sedangkan versi-versi Syekh Siti
Jenar lebih cenderung sebagai bentuk interpretasi para sarjana dalam
menerjemahkan tulisan Sunan Bonang dan tulisan para wali lainnya. Tetapi
tidakkah sejarah itu juga lautan iman, ilmu dan hari depan. Dapatkan
Allah SWT dipahami tanpa sejarah ? dapatkah Al-Quran, ilmu dan amalan
terkaji diluar sejarah ?
Kita perkuat pembahasan ini dengan kisah lainnya. ketika Nadir Syah
penakluk dari Persia telah menaklukkan Delhi, maka kaisarnya (Mughal
Muhammad Syah) dihadapkan kepada Nadir Syah sebagai tahanan. Nadir Syah
memperlakukan kaisar itu (juga seorang penyair) secara amat sopan
sembari meminta kepada kaisar yang kalah itu untuk membacakan beberapa
bait sajaknya. Untuk itu Mughal Muhammad Syah dengan tanpa persiapan
membacakan bait :
“
Ingat bukalah matamu dan ambillah pelajaran dari kebijaksanaan Ilahi”
“
Betapa kealpaan kita mengangkat seorang Nadir (tokoh yang dikagumi)”
Bait itu begitu mempesona Nadir Syah si penakluk, sehingga ia
menyerahkan kembali kerajaan itu kepada Mughal Muhammad Syah dan Nadir
Syah balik pulang ke Persia.
Jika bukan karena mementingkan kehidupan dunia, seharusnya telah
terbuka mata kita. Sejak abad-21 seluruh dunia dilanda krisis global,
yakni krisis ekonomi dan krisis peradaban. Islam sebagai sosok agama
diperangi oleh peradaban, hingga muncul Islam aliran keras dan
sekte-sekte sesat, jihad fi sabilillah yang berubah menjadi teroris.
Mungkin karena tertinggalnya kajian Islam dari pada kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi dan senibudaya. Dari keadaan alam yang melapuk
dan dari keakuan yang sedemikian kuatnya hingga membutuhkan pencerahan
dan penerangan lugas mengenai kajian nilai-nilai Islam secara filosofis,
logis, realistis dan sistematis dengan bahasa yang mudah dicerna
masyarakat.
Islam harus bangkit dan berusaha untuk mampu mengatasi dunia yang
semakin gelap ini. Kaum sufi memanggul obor cahaya, untuk mengungkap
hakekat dan makrifat ilmu Nur Alam. Guna menerangi perilaku manusia dan
peradaban yang semakin porak poranda. Merubah Islam yang kini masih
dicap sebagai agama dogma dan kemabukan (jiwa sepi dari cahaya
benderang) menjadikan Islam sebagai suluh dunia dan rahmat bagi sekalian
alam.
Orang awam beranggapan bahwa sufistik hanya mempermasalahkan tentang
mistik yang membahas hakekat dan marifat dan berujung pada pemahaman
manunggaling kawula Gusti yang sudah dicap kufur. Padahal tanpa kajian
sufistik, agama hanya sebagai dogma dan kemabukan dengan langkah terseok
menuju kesadaran hampa.
Sekilas Tentang Ajaran Al-Hallaj
Husen bin Manshur al-Hallaj terkenal dengan ucapannya yang kotroversial, “
Anal Haqq”,
yang berarti Akulah Kebenaran. Menurut al-Hallaj, esensi Tuhan tidak
dapat diketahui karena esensi Tuhan berada diluar kategori-kategoti
pengetahuan intelektual. Hal ini merupakan prinsip dasar seluruh
aktivitas manusia.
Dunia fana, data indrawi yang terbatas, konstruksi logis ataupun
model analogi, sulit digunakan untuk memahami Tuhan yang berada di luar
jangkauan alam pikiran. Pikiran yang dikembangkan dan dilatih dalam
dimensi-dimensi ruang dan waktu tidak dapat keluar dari dunia
kemakhlukan, sehingga pencapaian esensi Tuhan takkan pernah diketahui.
Melalui peniadaan kedirian, ke-tidak berdayaan, ke-fakiran dan
ke-heningan manusia hanya sebagai upaya optimalisasi kesadaran diri
hingga mampu menerima induksi gelombang halus. Sedangkan
fenomena-fenomena, konstruksi logis, interpretasi dan kehilafan adalah
tirai yang menutupi rahasia Tuhan yang abadi dalam keesaan-Nya. Sehingga
jurang pemisah tetap ada antara yang terbatas dan yang tidak terbatas.
Akhirnya al-Hallaj berkata, “
Yang benar tetap yang benar, pencipta sebagai Khaliq dan segala apa yang diciptakan tetap makhluk. Ini akan tetap demikian.”
Tetapi
Ana sebagai perluasan dari kondisi manusia (tak
terpisahkan dari kemakhlukan), mengemban peran mengukuhkan dalam
kesadaran serta melakukan alienasi diri. Walaupun juga menyadari bahwa
kondisinya diselimuti oleh kehadiran Tuhan yang abadi.
Ana terus menerus hidup dalam lingkungan
Al-Haqq. Ini juga terlihat jelas bahwa
Ana dan
Al-Haqq tidak dapat menyatu, keduanya senantiasa terpisah dan jurang pemisahnya tetap tak terjembatani.
Namun dikalangan sufi, Anal Haqq”
adalah syathahat, yaitu ungkapan ekstatis, yang diungkap ketika seseorang mengalami ekstase sewaktu berada dalam keadaan
sukr (mabuk spiritual).
Sukr
adalah hilangnya kesadaran diri karena pengaruh spiritual yang kuat,
misalnya tenggelam dalam zikir kepada Allah SWT dan menemukan Allah SWT
dalam konsep spiritual (sama).
Sukr adalah keberlimpahan cinta
Allah SWT dalam hati dan berpuncak pada peleburan diri dalam Allah SWT,
ketiada diriannya ditempati oleh induksi ke-Esaan-Nya.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal (Al Anfaal, 2).”
Karena itu dalam tasawuf, ajaran al-Hallaj tidak dapat disalahkan. Kalau hendak disalahkan hanyalah karena dia mendeklarasikan
syathahat-nya, yaitu secara terbuka mengumumkan “
Anal Haqq”
kepada masyarakat luas. Sementara masyarakat luas yang tidak terbiasa
dengan pengalaman sufistik akan kaget mendengar ungkapan itu.
Hukuman terhadap al-Hallaj lebih mengarah kepada
persoalan politik dari pada agama. Boleh dikata, al-Hallaj hanyalah
korban pertetangan politik pada masa itu. Kontroversial dalam keagamaan
hanyalah bias dari informasi terbatas yang diterima. Ucapan “
Anal Haqq”
telah melambung popularitasnya dalam sejarah pemikiran Islam dan
menjadi bahan kajian yang menarik sepanjang masa serta menjadi inspirasi
lahirnya tokoh-tokoh serupa di belahan dunia.
Sekilas Tentang Ajaran Syekh Siti Jenar
Pengaruh ajaran al-Hallaj membuka wacana dalam berkembangnya paham
manunggali kawula-Gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan). Paham ini bisa disebut
pamoring kawula-Gusti, jumbuhing kawula Gusti, curiga manjing warangka, warangka manjing curiga dan kadang-kadang hanya disebut
manunggaling.
Menurut Soesilo, Syekh Siti Jenar memandang semua makhluk dan alam
semesta ini tersusun dalam suatu susunan yang hierarkis atau bangunan
yang bertingkat. Sedangkan puncaknya adalah Allah. Setiap tingkatan
berasal dari tingkatan yang lebih tinggi. Tingkatan ini terjadi kebawah
dan keatas dengan jalan emanasi. Hanya manusialah yang memiliki
kemampuan melakukan kenaikan tingkatan sampai kepada yang tertinggi,
yaitu Allah.
Menurut Syekh Siti Jenar, kewajiban syariat, ritual-ritual formal
seperti shalat, puasa, zakat dan haji, tidaklah diperlukan lagi pada
saat mencapai puncak penyatuan hamba-Pencipta. Syekh Siti Jenar jelas
menyatakan dirinya Tuhan dan Tuhan adalah dirinya (
pada saat mencapai puncak penyatuan hamba-Pencipta).
Akhirnya ajaran ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa pada saat
manusia yang telah mencapai taraf penyatuan dengan Tuhan tidak lagi
terbebani hukum. Perlu dipahami betul bahwa kondisi ini hanya sesaat dan
sangat erat hubungannya dengan hidayah dari Allah SWT dari pada hasil
ibadahnya.
Dari ajaran Syekh Siti Jenar kita bisa belajar untuk memahami sebuah
dunia yang barangkali terlalu asing tetapi sangat menarik. Tasawuf
adalah sistem berpikir, ajaran yang mengajarkan pendekatan diri kepada
Tuhan sebagai tujuan akhir, dengan mengembangkan kehalusan (rasa dan
perasan) dalam hati dan terealisasi pada lingkup tindakan yang baik.
Untuk memahami pengertian manunggaling ini tidaklah perlu meletakkan
persepsi yang terlalu tinggi, karena jika terpeleset kekufuran yang
didapat. Untuk itu pondasi hukum dan perangkat jasmani harus
dipersiapkan dengan kuat, jika tidak prosesi manunggaling akan terhambat
dan terselewengkan oleh bias-bias energi alam sekitarnya.
Sebagai ilustrasi untuk mempermudah pengertian ini,
rubahlah tujuan manunggaling anda, misalnya kepada prosesi melukis. Ada
dua pondasi yang harus diletakkan dengan kokoh :
a. Pondasi rohani (cinta buta) dengan semangat dan pemasrahan mewujudkan aura dan rasa.
b. Pondasi jasmani dengan ilmu (pewarnaan, media, teknik, imajinasi
dan pemaknaan obyek lukisan) dan langkah nyata mewujudkan bentuk.
Dalam prosesi ini harus meniadakan kedirian anda (jangan merasa bisa
dan jangan berpola pikir), fokuskan niat anda dan satukan rasa dan
perasaan dengan obyek lukisan.
Tangan anda akan bergerak reflek dalam melukis termasuk memilih warna.
Pada saat rasa dan perasaan anda (subyek) menyatu dengan lukisan
(obyek), itulah manunggaling subyek dengan obyek. Jika pada saat itu
anda (subyek) dipanggil guru lukis anda, anda akan mengatakan “saya
tidak ada yang ada lukisan”, karena subyek sedang fokus pada obyek.
Ketika sang guru lukis memanggil lukisan (obyek), anda akan menjawab
“lukisan tidak ada yang ada saya”, karena lukisan (obyek) terikat dengan
anda (subyek). Tetapi ketika sang guru lukis memanggil subyek dan
obyek, maka anda akan datang karena anda yakin bahwa yang akan
dibicarakan oleh guru anda tentang prosesi anda melukis.
Realitanya, apakah anda menyatu dalam kesatuan yang utuh dengan lukisan ?
Ilustrasi ini disampaikan untuk mengingatkan, agar kita tidak
terjebak dalam persepsi berdasarkan pengetahuan sempit dalam keakuan
yang dimiliki. “
Jadikanlah diri ini sebagai gelas kosong, sehingga banyak air (pengetahuan) yang dapat dituang kedalamnya”.
Ajaran Syekh Siti Jenar ditolah, terutama oleh penguasa pemerintahan
Kerajaan Demak Bintara, sedangkan Walisongo membenarkan substansi
ajarannya, tetapi melarang penyebarannya karena masyarakat belum siap
untuk menerimanya.
Ajaran ini pernah ditumbuh kembangkan oleh Kebo Kenanga (Kiangeng
Pengging) sebagai aliran Islam abangan. Secara politik dimanfaatkan oleh
Kebo Kenanga untuk menarik simpati masyarakat guna menandingi kekuasaan
Kerajaan Demak Bintara yang berpegang pada Islam aliran putih, Islam
murni dari Timut Tengah secara tekstual.
Setelah Islam menguasai kehidupan agama di Jawa, menggantikan agama
Hindu, timbullah penghayatan otonomi manusia yang unik akibat ajaran
tasawuf. Yakni adanya ajaran tentang insan kamil (manusia sempurna) yang
dalam tasawuf disebut manunggaling kawula-Gusti. Otonomi ini berkaitan
dengan penghayatan kejiwaan yang bersifat metafiska, mengajarkan untuk
melepaskan diri dari bentuk keakuan. Dimulai dari upaya mawas diri untuk
mengenal dan menguasai nafsu, yaitu mengambil jarak dengan nafsu
ammarah, lawwamah dan suffah untuk dapat menguasai diri dan membebaskan
diri dari hambatan nafsunya.
Manunggaling kawula-Gusti berarti beradanya manusia dalam Tuhan. Di
sanalah tempat sejati, kesanalah ia harus kembali. Juga berarti
bersemayamnya Tuhan dalam diri manusia, sebagaimana dijelaskan dalam
Serat Wedatama Pupuh Pucung, bait ke-12 :
Bathara gong, inguger jejantung/jenet hyang wisesa,
Sana pasanetan suci,
Nora kaya simudha mudharangkara.
Artinya :
“Tuhan yang Agung disemayamkan dalam pusat jantung, disitu
kesukaan Hyang Maha Kuasa, itulah singgasana yang tersembunyi. Tidak
demikian bagi para muda yang mengikuti nafsu angkara murka.”
Menurut PJ. Zoetmulder, paham tentang bersemayamnya Tuhan dalam diri
manusia tidak berdiri sendiri, tetapi ada presedennya dalam tasawuf. Di
sana kita berjumpa dengan bersemayamnya Tuhan dalam hati manusia, yakni
bagian yang paling halus dalam hati manusia yang dinamakan sirr
(rahasia).
Dalam Al-Quran, sirr atau induksi gelombang alam itu disebut sebagai
tahta kesadaran. Dalam kemampuan menerima induksi gelombang alam yang
dianut oleh al-Hallaj, memainkan peranan penting dalam mempertahankan
dan mengembangkan data dari Al-Quran bahwa hati (jantung) merupakan
organ yang disiapkan Allah bagi kontemplasi.
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Ar Rad ; 28)
Sedangkan hati itu bersekat : Ruhul Qudus, Ruhul Quwwatin, Ruhul
Qowwabin, Ruhul Islah, Ruhul Amin dan Ruhul Muqorrobin. Terbukanya sekat
hati ini membentuk sentra jati diri yang kokoh yang disebut “mutiara
suci.”
Fungsi itu tidak dapat dilakukan tanpa organ, karena organ menggiring
manusia pada kesadaran akan komponen tubuh, fungsi masing-masing
komponen, interaksi fungsi antar komponen dan sistematika universal
komponen tubuh. Tujuannya ialah terbukanya sekat hati, menyucikan hati
dan memuliakan hati. Nabi Muhammad SAW bersabda
: “Maha Suci Allah,
dengan memuji kepadaNya sebanyak makhlukNya, seluas keridhaan diriNya,
berat timbangan ArsyNya, dan sepanjang kalimat-kalimatNya." (Sunan Abu Daud 1285)
Al-Hallaj mencoba memuliakan perkembangan terakhir itu, yang tak
terhingga meliputi hati. Jika sirr masih berada di tengah-tengah
nafsu-nafsu, merupakan kepribadian yang masih tidur (mati), kesadarannya
masih terliputi.
Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan
sebagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan
kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu
tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti. (Al Baqarah ; 73)
Yang dimaksud dengan sebagian anggota sapi betina adalah hakekat dari
ayat-ayat Al Baqarah yang dapat membangunkan kesadaran manusia untuk
dapat menerima sirr.
Selama Tuhan tidak mengunjungi sirr, kepribadian yang tertidur itu tetap tanpa wujud, itulah
sarirah, semacam kata ganti yang tidak pasti, “aku” yang masih bersifat sementara.
Jika manusia bersedia meninggalkan selaput terakhir (terbuka sekat) dari hatinya, maka Tuhan membuahinya, memasukkan
dhamir,
kepribadiannya yang jelas dan definitive, “kata ganti” yang sah, hak
untuk berkata “aku.” Hak itu mempersatukan manusia suci dengan sabda
Ilahi dengan “kun” karena Ruhul Qudus mampu menerima induksi dari Allah
SWT.
(Sesudah al-Ghazali menyamakan cahaya dengan
Ada dan kegelapan dengan
Tiada, ia meneruskan).
Ada pun dapat dibagi, menurut
Ada dari dirinya sendiri dan
Ada yang berasal dari pihak lain. Yang terakhir itu mempunyai
Ada yang berasal dari sumber lain yang tidak mandiri. Yang
Adanya, hanya bersifat relasi terhadap sesuatu yang lain dan itu sebetulnya bukan
Ada yang nyata seperti telah anda lihat dalam perumpamaan tentang busana yang dipinjamkan oleh orang kaya. Yang sungguh
Ada ialah Allah, sama seperti Cahaya sejati ialah Allah. (PJ. Zoetmulder; 28-29)
Dalam Kitab Bonang yang dianggap selaras dengan ajaran putih
disebutkan : Sesungguhnya adanya Tuhan itu bersifat tunggal, langgeng,
mahasuci dan itu bukan sesuatu yang lain daripada ada-Nya (kodrat-Nya)
yang tidak material, yang pada awal mula memberikan
Ada kepada
segala sesuatu. Sesungguhnya Ia tidak termasuk alam kebendaan, tidak
menjiwai dan tidak dijiwai, tidak berbaur dengan buah ciptaan-Nya karena
Ia ada sebelum segala sesuatu dan bersifat langgeng dan mahasuci,
sifat-Nya yang lepas dari kebendaan meliputi segala sesuatu, Maha
Sempurna, Maha Elok, Mahamulia, Mahatinggi, dan Mahaluhur. Mengenai
hakekat-Nya, tak seorangpun tahu akan sifat-Nya yang lepas dari
kebendaan (suksma), hanya Ia sendiri maklum akan jiwa-Nya.
Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengertian itu kalau ia
pernah mengalaminya sendiri. Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas,
Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran tertinggi yang dapat dicapai
manusia. Tataran ini adalah Insan Kamilnya Muslimin, Jalma Winilisnya
aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa
pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau
Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan.
Yang penting bagi kita bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri
yang kita pertahankan kebenaran secara konsisten dalam kehidupan nyata
di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman
paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih
dari memperkokoh langkah nyata. Langkah nyata atau sikap dan tindakan
kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.
Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya
suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau
tidak boleh, tidak ada ketentuan atau aturan tertentu, boleh percaya
tidakpun boleh.
Garis khatulistiwa ilmiah (diterangkan diatas) tidak dapat ditolak dalam mengemban amanah (Khalifah) Allah SWT.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Al Anbiyaa ; 107). Sehingga ibadah kita seimbang lahir-batin.
Jika ibadah tanpa mengenal hakekat dan makrifat, maka ibadahnya
bagaikan tubuh tanpa ruh. Dan jika ibadah hanya hakekat dan makrifat
tanpa syariat, maka ibadahnya bagaikan ruh tanpa
tubuh.
Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi awal abad ke-21
ini, buku-buku agama Islam dari Timur Tengah dengan mudah didapatkan.
Dan karena tertarik dengan pelaksanaan Fiqih berdasarkan Al-Quran dan
Hadits yang murni, KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi keagamaan yang
dikenal dengan “Muhammadi-yah” pada tahun 1912. Mereka menamakan
modernisasi Islam yang berpedoman hanya kepada Al-Quran dan Hadits,
ajaran-ajaran lainnya yang berbau budaya dan tasawuf dipenggal,
keberadaan Walisongo dianggap hanya legenda dan gagal total.
Pada awalnya organisasi ini diikuti oleh kaum intelektual, namun sekarang sudah berkembang ke semua lapisan masyarakat.
Ada dua pertanyaan fundamental yang diajukan KH Ahmad Dahlan :
- Apakah saudara-saudara tahu betul apa agama Islam itu ?
- Apa saudara berani beragama Islam ?
Sangat tidak mudah menjawab pertanyaan ini, kecuali bagi orang-orang
sungsang (kulit dianggap isi, sedangkan isi dianggap kulit) karena
melihat dari sudut pandang yang sempit.
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali
yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan
anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.
Pada hari ini] orang-orang kafir telah putus
asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbu-at dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Maaidah ; 3)
Kulitnya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu,” isinya terletak pada kalimat-kalimat sebelumnya.
Menjalankan isi (tekstual) benar, namun lebih bijak lagi jika
menjalankan dengan kontekstual (hakekat dan makrifat)nya, hingga isi ada
dalam kulit berbulu indah dan bercahaya.
Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni-budaya berkembang
dengan pesatnya. Kecerdasan dan intelektual masyarakat melampaui
nilai-nilai agama yang dipahami. Sehingga Al-Quran dan Hadits tidak lagi
dijadikan rujukan dalam ilmu, prosesi ibadah sudah bergeser menjadi
rekreasi iman dan penyejuk jiwa sesaat.
Syekh Abdul Qodir Jailani pernah menjelaskan kepada salah seorang
muritnya : “ janganlah anda merasa menguasai ilmu sufi, sebelum anda
memahami tugu sufistik”. Tugu sufistik itu ada delapan kajian yang harus
disadari untuk menjadikan diri penyelam Islami Kaffah :
1.
Langkah nyata, dalam diri merupakan kesadaran
jasmani bahwa dalam diri ada pikir, niat dan kehendak yang dapat
berinteraksi dengan keberadaan alam sekelilingnya. Gunakan panca indra
sebagai sensorik, juga rasa sebagai irritabilitas, kemudian olah dalam
otak, pastikan dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan saring
berdasarkan niat luhur.
Gunakan “
Hu Allah “ sebagai dasar atau pondasi.
2.
Budi Luhur, sebagai refleksi dalam mensikapi
permasalahan dengan kejernihan hati, kejujuran hati dan ketepatan
kedudukan hati. Satukan dalam suatu refleksi (budaya) sikap diri,
kecenderungan ini dibakukan oleh pakem-pakem titian diri yang telah
ditetapkan Allah sebagai sejatinya diri.
Gunakan oleh rasa “
lahaula wa laquwata illah billah ” sebagai dasar atau pondasi.
3.
Ilmu yang Luhur, ilmu yang diolah oleh kecerdasan
dan kemulyaan pikir, sehingga tidak sempat lagi berpikir buntu karena
sarat dengan kehendak yang tidak sejalan dengan titian diri.
Kesempurnaan rasa dan perasaan yang memberi jalan kepada titian diri.
Tatakan ini penting bagi pemikir karena kebanyakan diantara manusia
mengolah berdasarkan kehendak.
Gunakan “
subhanallah hal adzim ” sebagai dasar atau pondasi.
4.
Berpikir Mulia, tempatkan rekayasa diri pada kemaslahatan ummat, bukan untuk kerugian dan bukan untuk diri sendiri.
Gunakan tatakan “
Alhamdulillahi robbil alamin ” sebagai dasar atau pondasi.
5.
Pemasrahan yang Nyata, tidak perlu merekayasa
apa-apa yang belum datang waktunya. Sempurnakanlah tatakan diri pada
kenyataan yang ada, jangan salahkan orang lain, tetapi olah diri sendiri
agar dapat mensikapi apa-apa yang ada dalam diri dan alam sekitarnya.
Gunakan bahasamu “
tidak tau apa-apa dan tidak punya apa-apa ” sebagai dasar atau pondasi.
6.
Berpedoman sifat Nabi sebagai Hamba, olah diri
dalam kesadaran lahir batin, sempurnakan sistematika (siklus) diri yang
tidak akan pernah berhenti kecuali sudah selesai tugas hidup.
Jumeneng roh ingsun, roh Muhammad, diamkan kemampuan diri seolah-olah
tidak ada, tetapi yang ada hanya wakil Allah dalam diri yaitu Nur
Muhammad. Olahan diri ini hanya dalam diri dan tidak untuk keluar,
karena pada diri yang kuat dialah sang kekasih Allah. Tanpa menganggap
diri yang menentukan langkah hidup dan kehidupan. Kuncinya dalam rasa,
alam pikir dan semangat diri yang ada dalam diri sendiri. Langkah diri
akan keluar manakala diperlukan.
Gunakan “
Sodaqollahul adzim ” sebagai dasar atau pondasi.
7.
Berpedoman sifat Rasul sebagai Hamba, sifat ini
semulya-mulyanya langkah. Langkah nyata (keluar) setelah pengolahan diri
matang dalam keseimbangan Rahmatan lilalamin. Tidak untuk diri sendiri
tetapi untuk kemaslahatan alam sekitarnya.
Gunakan
“ Qolu samina wa atona, khufronaka robbana wa ilaikal masyiir ” sebagai dasar atau pondasi.
8.
Sesungguhnya Akulah Allah, tidak ada Allah kecuali Aku, hati-hati dalam hal ini, karena mudah terpeleset.
Jika mampu menanggalkan akunya diri (kedirian) dan yang ada hanya
sistematika baku dari berbagai proses alam, maka yang ada dalam diri
hanyalah induksi dari Allah yang diyakini dengan Haqqul Yakin, dibawah
itu belum bisa.
Kedudukan diri tidak ada kecuali Allah dan Allah pun tidak ada
(berubah menjadi bayangan Allah) manakala dibutuhkan alam, secara
jasmani.
(hati-hati betul dalam hal ini)
Tunggu langkah yang ditetapkan Allah (sesuai dengan sistematika
alam). Sempurnakan ketiada dirian, sampai Allah terinduksi dalam Nur
Muhammad (kemulyaan diri). Yang lain tidak ada.
Gunakan
“ Innalillahi wa inna lilaihi rojiun ” sebagai dasar atau pedoman.
9.
Air Kehidupan, sebagai akulmulasi kemampuan diri
dalam kemulyaan diri, yang menyatu (berinteraksi) dalam sifat air yang
meliputi seluruh dimensi di alam semesta.
Ingat, jangan berlebihan, gunakan sebatas kepentingan.
Gunakan “
innallaha Qun fa yaqun ” sebagai dasar atau pondasi.
Ilustrasi lukisan ini hanya sebagai sudut pandang, bukanlah kebenaran
mutllak. Akan tetapi lebih bijak manakala anda dapat mengkaji lebih
lanjut sesuai dengan sifat dan keberadaan anda. Yang penting anda
merujuk pada kitab suci yang bagaikan intan berlian, jika dipandang dari
sudut manapun tetap bercahaya, yang keberadaannya tak lapuk oleh hujan
dan tak lekang oleh panas. Itulah kitab suci dari Allah Yang Maha
Pengasih lagi Penyayang.
Jika demikian, bukanlah aku yang paling benar, juga bukan aku yang
paling pandai dan juga bukan aku yang harus dipentingkan. Aku hanya
seonggok daging yang tak tau apa-apa dan tak punya apa-apa. Aku hanya
mengajak aku-aku lainnya untuk saling berbagi kasih sayang dalam menjaga
keseimbangan alam yang semakin menipis.
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al Anbiyaa, 107)
Wallahu alam bisysyawaf.
http://www.alamsuar.com/berita-164-prosesi-pemancungan-siti-jenar.html