Senin, 28 April 2014

Kesabaran Seorang Ulama

Al Mubaarok bin Al Mubaarok Adh Dhoriir seorang ulama ahli nahwu yang digelari Al Wajiih. Beliau dikenal seorang yang elok akhlak dan perilakunya, lapang dada, penyabar dan tidak pemarah. Sehingga ada sebagian orang-orang jahil yang berniat mengujinya dengan memancing kemarahannya.

Maka datanglah orang ini menemui Al Wajiih, kemudian bertanya kepadanya tentang satu masalah dalam ilmu nahwu. Syaikh Al Wajiih menjawab dengan sebaik-baik jawaban dan menunjukan kepadanya jalan yang benar.

Lantas orang itu berkata kepadanya, “Engkau salah’.

Syaikh kembali mengulangi jawabannya dengan bahasa yang lebih halus dan mudah dicerna dari jawaban pertama, serta ia jelaskan hakekatnya.

Orang itu kembali berkata, “Engkau salah hai syaikh, aneh orang-orang yang menganggapmu menguasai ilmu nahwu dan engkau adalah rujukan dalam berbagai ilmu, padahal hanya sebatas ini saja ilmumu!”.

Syaikh berkata dengan lembut kepada orang itu, “Ananda, mungkin engkau belum paham jawabannya, jika engkau mau aku ulangi lagi jawabannya dengan yang lebih jelas lagi dari pada sebelumnya”.

Orang itu menjawab, “Engkau bohong! Aku paham apa yang engkau katakan akan tetapi karena kebodohanmu engkau mengira aku tidak paham”.

Maka syaikh Al Wajiih berkata  seraya tertawa, “Aku mengerti maksudmu, dan aku sudah tahu tujuanmu. Menurutku engkau telah kalah. Engkau bukanlah orang yang bisa membuatku marah selama-lamanya.

Ananda, konon ada seekor burung duduk di atas punggung gajah, ketika dia hendak terbang ia berkata kepada gajah, “Berpeganglah kepadaku, aku akan terbang!”.  Gajah berkata kepadanya, “Demi Allah hai burung, aku tidak merasakanmu ketika bertengger di punggungku, bagamaimana aku berpegang kepadamu saat engkau terbang!”.

Demi Allah hai anakku! Engkau tidak pandai bertanya tidak pula paham jawaban, bagaimana aku akan marah kepadamu?!”.

(Mu’jamul Udaba’ : 5/44).

Menjadi guru, juga seorang da’i memang harus banyak belajar bersabar, lapang dada dan berakhlak mulia .. semoga Allah Ta’ala memudahkan hal itu untuk kita, aamiin

Sumber: http://dakwahsyariah.blogspot.com/2011/08/kisah-kesabaran-seorang-ulama.html#ixzz30CaAAaV6

Istana Sang Khalifah

Seorang utusan Romawi tengah mencari istana Khalifah Umar bin Khattab untuk sebuah urusan. Setelah beberapa saat tak menemukan istana tersebut, ia akhirnya bertanya kepada orang-orang. Saat ia menanyakan di mana istananya, mereka menjawab: "Ia tidak punya istana." Lalu, ia bertanya di mana bentengnya. "Tidak ada," jawab mereka.
Kemudian, mereka menunjukkan rumah Sang Khalifah yang terlihat seperti rumah kaum tak berpunya. Lantas, ia mendatanginya dan menanyakan keberadaan Amirul Mukminin. Alangkah terkejutnya ia saat mendengar jawaban dari keluarga Umar: "Itu dia di sana sedang tertidur di bawah pohon."
Tentu bukan tanpa alasan bagi seorang dengan gelar Amirul Mukminin (pemimpin kaum Mukmin) yang kekuasaannya terbentang dari Mesir sampai Irak untuk memilih sebatang pohon sebagai istananya.
Selain agar rakyat dapat dengan mudah menemui dan mengadu padanya, juga karena ia mempelajari hal itu dari Sang Teladan, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Dahulu, Umar pernah menemui Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika beliau bangun dari pelepah kurma tempatnya berbaring. Umar melihat guratan pelepah kurma membekas di punggung Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Ia pun menangis. Dengan lembut Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya: "Apa yang membuatmu menangis?" Umar menjawab: "Wahai Rasulullah, sungguh Raja Kisra dan Kaisar Romawi dalam keadaan (kafir). Mereka (bergelimang harta), sedang Engkau ialah Utusan Allah (tetapi tidak memiliki apa-apa)." Dengan bijak Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai Umar, tidakkah engkau rida jika mereka mendapat dunia dan bagi kita akhirat?" Pelajaran ini tidak pernah dilupakan oleh Umar seumur hidupnya.
Umar bukannya tidak mampu untuk membangun istana atau hidup mewah bak seorang raja. Tetapi, Umar lebih memilih kesederhanaan sebagai perhiasan dirinya.
Bagaimana tidak, ia adalah khalifah yang memperoleh gaji hanya sebatas kebutuhan pokoknya, memakan roti yang hampir mengeras, dan memiliki dua belas tambalan pada pakaian lusuhnya. Ia adalah pemimpin yang bergantian mengendarai keledai bersama budaknya dalam penaklukkan Kota Al-Quds.
Sungguh, Umar telah mengajarkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin tak harus bergelimang fasilitas. Maka, ia pun tidak pernah menuntut berbagai fasilitas untuk tugas kepemimpinannya. Karena ia tahu, fasilitas-fasilitas yang ia nikmati tidak lain hanyalah ujian yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Wallahu 'alam bish shawab. (republika.co.id)

Sumber: http://dakwahsyariah.blogspot.com/2012/01/kisah-tentang-istana-sang-khalifah.html#ixzz30CKWOWaY

Doa Mustajab Abu Muslim

Dari Muhammad bin Syu’aib dan Said bin Abdil Aziz berkata, “Pada masa pemerintahan Mu’awiyah terjadi kemarau panjang. Mu’awiyah keluar untuk shalat Istisqa’ bersama masyarakat. Ketika mereka tiba di tempat yang akan digunakan untuk shalat Istisqa’, Mu’awiyah berkata kepada Abu Muslim, ‘Bukankah engkau mengetahui apa yang dikehendaki masyarakat ini??’

Abu Muslim menjawab, ‘Mungkinkah aku melakukannya sementara aku mempunyai banyak kekurangan.’

Kemudian beliau bangkit, di atas kepalanya beliau memakai sejenis tutup kepala. Lalu tutup kepala itu dibuka, selanjutnya beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya hanya kepadaMu-lah kami meminta hujan. Aku datang menghadapMu dengan segenap dosaku. Janganlah Engkau tolak permohonanku ini.’ Maka sebelum orang-orang beranjak pergi, hujan pun turun.

Abu Muslim bermunajat, ‘Ya Allah, sesungguhnya Mu’awiyah telah mengangkatku ke posisi yang sarat dengan sum’ah (perbuatan yang dilakukan dengan maksud agar orang lain mendengar/ tahu, pent.). Sekiranya terdapat satu kebaikan pada diriku, maka terimalah aku di sisimu (wafatkanlah aku).”

Peristiwa itu terjadi pada hari kamis. Dan pada hari kamis berikutnya Abu muslim meninggal dunia.” (Az-Zuhd, karya Imam Ahmad, hal 392.)

Sumber: http://dakwahsyariah.blogspot.com/2011/08/kisah-doa-mustajab-abu-muslim.html#ixzz30CJOxxlQ

Hati-Hati Keyakinan Sesat Pada Jimat

Keyakinan Sesat Pada Jimat." Di antara banyak bentuk kesyirikan yang masih tersebar di tengah masyarakat pada umumnya adalah penggunaan jimat. Bagi mereka jimat diyakini sebagai pelindung (selain Allah Subhanhu Wa Ta'ala ) dari berbagai mala petaka, sakit dan celaka. Atau diyakini dapat mendatangkan manfaat tertentu seperti membawa keberuntungan, pelet pemikat, kemudahan rizki, kepercayaan untuk kenaikan jabatan dan lain sebagainya. Ada jimat berupa cincin /ali-ali, gelang, kalung, bahan-bahan logam berbagai bentuk, tali yang diikatkan pada salah satu anggota tubuh tertentu, ataupun bentuk-bentuk jimat lainnya. Penyakit berbahaya ini tidak hanya melanda masyarakat awam, tetapi juga tidak sedikit kalangan terpelajar atau cendikiawan yang ikut terbawa arus fenomena yang menyedihkan sekaligus menyesatkan ini. Ironisnya, ketika seseorang telah menjadi hamba jimat dan diperbudak oleh kesyirikan perangkap setan, ternyata dia tidak segan mengajarkan bahkan mengajak orang lain melakukan hal yang sama dan demikian seterusnya. Sebagai seorang Mukmin kita layak mengetahui hal ini, agar dapat menghindari dan mencegah diri sendiri dan orang lain terjerumus di dalamnya bahkan menyelamatkan mereka yang telah terjerembab masuk ke dalam lumpur kebinasaan. Nas'alullâha assalâmata wal `âfiyah kita semua hanya memohon kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala keselamatan dan perlindungan.
KEBINASAAN PELAKU SYIRIK
 Bertauhîd (mengesakan) Allah Subhanhu Wa Ta'ala dalam semua bentuk ibadah adalah hak Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang paling agung. Dan kesyirikan merupakan kezhaliman paling besar terhadap hak Allah Subhanhu Wa Ta'ala tersebut. Ancaman dan murka Allah Subhanhu Wa Ta'ala terhadap syirik dan pelakunya sangat tegas dalam banyak ayat-ayat-Nya. Allah Subhanhu Wa Ta'ala tidak akan mengampuni dosa syirik; amalan pelakunya akan gugur dan dia diharamkan masuk jannah Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman:
 إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
 Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain dari (syirik) itu bagi siapapun yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah I (berbuat syirik) maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [an-Nisâ`/4 : 48]
 وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
 Seandainya mereka melakukan kesyirikan kepada Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [al-An`âm/6: 88]
 إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya orang yang berbuat syirik kepada Allah maka pasti Allah haramkan baginya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu para penolong. [al-Mâidah/5: 72]
 Keseragaman risalah dakwah seluruh Nabi dalam menegakkan tauhid Allah Subhanhu Wa Ta'ala di muka bumi ini semakin mempertegas keagungan nilai tauhid dan nistanya perbuatan syirik. Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman:
 وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelum engkau; "Jika kamu mempersekutukan Allah (dengan syirik) niscaya akan gugurlah amalmu dan tentulah kamu menjadi orang-orang yang merugi (diadzab)". [az-Zumar/39: 65]
KESYIRIKAN DALAM JIMAT
 Jimat biasanya berupa ikatan yang terbuat dari besi, emas, perak atau logam lain sejenis atau apa saja yang diyakini dapat menangkal serta menghilangkan mala petaka dan celaka; atau diyakini dapat mendatangkan suatu manfaat. Sebagian orang mengenakannya di salah satu anggota badan dirinya atau keluarganya, digantungkan di atas pintu dalam rumah, toko, kendaraan atau selainnya.[1] Memakai jimat dengan berbagai jenisnya adalah syirik. Apabila diyakini pemakainya bahwa jimat itu dapat berpengaruh langsung tanpa kehendak Allah Subhanhu Wa Ta'ala, maka ia menjadi musyrik dengan jenis syirik besar dalam perkara tauhîd rubûbiyah karena dia telah meyakini tuhan selain Allah Subhanhu Wa Ta'ala . Namun, jika dia meyakini jimat tersebut sebagai sebab (perantara) dan tidak memberikan pengaruh langsung, maka tergolong syirik kecil. Karena saat dia meyakini sesuatu sebagai sebab padahal tidaklah demikian, maka sesungguhnya dia telah menyamai Allah Subhanhu Wa Ta'ala dalam menentukan hal tersebut sebagai sebab; padahal Allah Subhanhu Wa Ta'ala tidaklah menjadikannya sebagai sebab.[2]
 Dari `Imrân bin Hushain Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang pria mengenakan ikatan jimat yang terbuat dari tembaga di tangannya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya "Apa ini?". Pria tersebut menjawab: "(aku memakainya) Karena (tertimpa) penyakit wahînah". Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata "Lepaskanlah! Sesungguhnya (jimat) itu tidak akan menambahkanmu selain penyakit. Jika engkau mati dan jimat itu masih berada pada dirimu maka engkau tidak akan bahagia dan berjaya hingga kapanpun!".[3] Jika ancaman ketidakbahagiaan itu disampaikan kepada seorang Sahabat mulia Radhiyallahu anhu lantaran dia memakai jimat; maka bagaimana jadinya apabila pemakai jimat itu ternyata seorang biasa yang tidak memiliki kemuliaan sebagaimana kemuliaan para Sahabat Radhiyallahu anhu ?! Jelas akan lebih jauh dari kebahagiaan!! . Maka berhati-hatilah dalam hal ini!! Ketegasan sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberantas kesyirikan dan penggunaan jimat semacam ini sangat dicermati dengan baik dan diteladani oleh para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam serta Ulama salaf pada umumnya, karena yang demikian adalah sikap mengingkari kemungkaran dan pembelaan terhadap hak Allah Subhanhu Wa Ta'ala .
 Suatu hari Hudzaifah Radhiyallahu anhu menjenguk seorang pria yang sedang sakit, yang di lengan tangannya terdapat tali jimat penangkal demam. Hudzaifah Radhiyallahu anhu segera memotongnya, lalu membaca firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala [Yûsuf/12:106] :
 وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
"Tidaklah sebagian besar mereka beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)".[6] Sa`îd bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata "Barangsiapa memotong satu jimat (tamîmah) dari seseorang maka ia berpahala seakan telah memerdekakan seorang budak".[7]
 Menggunakan jimat-jimat ini adalah perbuatan syirik (yang dapat menjadi besar ataupun kecil) tergantung keyakinan pemakainya. Karena barangsiapa menetapkan suatu perantara padahal Allah Subhanhu Wa Ta'ala tidak pernah sekalipun menjadikannya sebagai sebab perantara syar`i maupun qadari; maka sungguh dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Membaca surat al-Fatihah adalah sebab perantara syar`i (yang memang disyariatkan) untuk mendapatkan kesembuhan (dari Allah Subhanhu Wa Ta'ala ). Ataupun sebagaimana mengkonsumsi makanan (berserat) adalah suatu sebab yang terbukti dapat memudahkan proses buang air; dan ini adalah qadari karena dapat diketahui melalui berbagai pengalaman.[8] Sedemikian benci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap penggunaan jimat, sehingga pada suatu saat ketika sekelompok orang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ); maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan baiat kepada sembilan orang dan membiarkan seseorang di antara mereka. Kemudian mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, engkau telah membaiat sembilan orang dan meninggalkan seseorang (di antara kami)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab "Sesungguhnya dia memakai tamîmah". Dia memasukkan tangannya dan memotong jimatnya; kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan baiatnya seraya bersabda: "Barangsiapa memakai jimat (tamîmah) maka dia telah berbuat syirik".[9]
 Tamîmah ialah jimat yang dikalungkan pada seseorang dan diyakini dapat menangkal bahaya, penyakit `ain atau mendatangkan manfaat dan kebaikan tertentu [10]. Secara umum tamîmah terbagi menjadi dua macam.
 Pertama: yang terbuat dari selain al-Qur`ân seperti tulang, kerang, keong, tali benang, paku, nama-nama setan dan lainnya maka ini tidak diragukan lagi adalah syirik karena seseorang menggantungkan sesuatu kepada selain Allah Subhanhu Wa Ta'ala.
 Kedua: yang berasal dari al-Qur`ân, Asma dan Sifat Allah Subhanhu Wa Ta'ala; maka terdapat selisih pendapat dalam pembolehannya. Dan pendapat yang kuat adalah tidak diperbolehkannya hal demikian.
 Setidaknya ada tiga hal yang menguatkan pendapat larangan tersebut:
 1. Keumuman dalil-dalil larangan mengenakan tamîmah dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
 2. Ditutupnya segala pintu atau celah yang akan menyeret kepada kesyirikan seperti akan digantungkannya hal yang tidak mubah.
 3. Jika seseorang memakai tamîmah yang berisi dari al-Qur`ân atau Asma dan Sifat Allah Subhanhu Wa Ta'ala, maka sudah barang tentu ia akan membawanya ke manapun termasuk ke kamar kecil untuk membuang hajatnya dan ini termasuk sikap menghinakan al-Qur`ân.[11]
 Ibrâhîm an-Nakha`i rahimahullah berkata "Para salaf membenci (mengharamkan) semua bentuk tamîmah baik yang terbuat dari al-Qur`ân ataupun selainnya"[12] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda "Sesungguhnya ruqyah (jampi-jampi azimat), tamîmah dan pelet adalah syirik".[13] Al-Khathabi berkata "Ruqyah yang dilarang adalah yang tidak berbahasa Arab; karena boleh jadi mengandung sihir atau kekufuran. Adapun jika dipahami maknanya dan terdapat dzikir terhadap Allah Subhanhu Wa Ta'ala di dalamnya, maka yang demikian dianjurkan serta diharapkan barakahnya, Wallâhu A`lam.[14]
 Syaikh al-Albâni berkata "Ruqyah yang dimaksud dalam hadits ini adalah yang terdapat di dalamnya permohonan lindungan kepada jin atau ruqyah yang tidak dipahami maknanya…".[15] Perlu diketahui bahwa tidak semua jenis ruqyah adalah syirik. Ada beberapa ketentuan lazim sehingga sebuah ruqyah boleh dilakukan. `Auf bin Mâlik Al-'Asyjâ`i z berkata: “Dahulu semasa jahiliyah kami melakukan bacaan ruqyah. Kemudian kami bertanya : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana pendapat engkau?” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab “Tunjukkan kepadaku ruqyah kalian, tidaklah mengapa (dilakukan) ruqyah selama bukan kesyirikan"[16]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga pernah diruqyah oleh Jibrîl Alaihissallam [17] Demikian pula oleh `Aisyah Radhiyallahu anhuma.[18]
 Para Ulama rahimahumullâh menjelaskan syarat-syarat ruqyah yang diperbolehkan yaitu:
 Pertama: Ruqyah yang dilakukan adalah bacaan al-Qur`ân, al-Hadits atau Asma dan Sifat Allah Subhanhu Wa Ta'ala,
 Kedua: Berbahasa Arab atau yang dapat dipahami,
 Ketiga: Tidak diyakini bahwa ruqyah tersebut dapat memberikan manfaat dengan sendirinya kecuali dengan kuasa dan izin Allah Subhanhu Wa Ta'ala semata.[19] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda "Barangsiapa bergantung pada tamîmah maka Allah tidak akan menyempurnakan tujuannya, barangsiapa bergantung pada kalung jimat maka Allah tidak akan memberikan ketenangan dan kedamaian padanya".[20]
WASIAT RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM UNTUK MEMBERANTAS JIMAT.
 Ketika Abu Basyîr al-Anshâri Radhiyallahu anhu bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sebagian safarnya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengirim seorang utusan dan berkata "Jangan biarkan ada jimat (yang digantungkan) di leher onta, kecuali harus dipotong".[21] Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan termasuk jimat sesat. Dari Ruwaifi` Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya "Wahai Ruwaifi`, sesungguhnya engkau akan hidup panjang. Maka kabarkanlah kepada manusia bahwa barangsiapa mengikat janggutnya, atau bergantung pada jimat, atau bersuci dengan kotoran dan tulang hewan, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya".[22] Bahkan Allah Subhanhu Wa Ta'ala akan membiarkan ketergantungan seseorang kepada sesuatu selain Allah Subhanhu Wa Ta'ala, dan Allah Subhanhu Wa Ta'ala akan menampakkan kelemahannya; karena tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan dengan kuasa dan izin Allah Subhanhu Wa Ta'ala, Rabb semesta alam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
 مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِّلَ إِلَيْهِ
Barangsiapa bergantung pada sesuatu (selain Allah) maka dia akan dipasrahkan kepadanya.[23] Yakni dibiarkan dirinya bergantung pada sesuatu dan Allah Subhanhu Wa Ta'ala akan mengabaikannya.[24]
MEMOHONLAH HANYA KEPADA ALLAH SSUBHANHU WA TA'ALA 
 Islam mengajarkan setiap hamba untuk senantiasa bertauhîd mengesakan Allah Subhanhu Wa Ta'ala dalam setiap amal perbuatan, mendekatkan diri kepada-Nya serta berlindung dan memohon penjagaan hanya dari-Nya. Tidak kurang dari tujuh belas kali dalam setiap shalat seorang Muslim membaca, namun tidak jarang di antara mereka yang belum memahami untuk kemudian mengamalkan kandungan maknanya; bacaan itu adalah:
 إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. [al-Fâtihah/1:5]
 Sekecil apapun kesulitan atau musibah yang dihadapi seorang hamba, hendaklah dia mengadu dan bersandar kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang Maha segalanya. Karena dia menyadari sepenuhnya bahwa hidup dan matinya adalah di tangan Allah Subhanhu Wa Ta'ala.
 قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. [al-An`âm/6:162]
 Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang masih sangat belia dan ajaran itu sekaligus menjadi arahan wasiat bagi seluruh umatnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat : (("Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan dapatkan Allah di hadapanmu (menolongmu). Apabila engkau memohon maka memohonlah kepada Allah, dan apabila engkau meminta pertolongan maka memintalah pertolongan dari Allah. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat manusia berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan memberikan apapun melainkan apa yang telah Allah takdirkan bagimu. Dan apabila mereka berkumpul untuk mencelakakanmu maka mereka tidak akan dapat melakukannya, melainkan apa yang telah Allah gariskan untukmu. Pena (qalam) telah diangkat dan shuhuf (lembaran takdîr) telah kering")).[25]
DOA DAN WIWIRD-WIWIRD SYAR’I TELAH DICONTOHKAN
 Hukum vonis syirik dalam jimat bukan tanpa solusi dalam mencari perlindungan dari berbagai mala petaka dan celaka. Berbagai doa perlindungan dari celaka dan bahaya telah sempurna diajarkan dalam Islam. Ini semua agar umat hanya mengesakan Allah Subhanhu Wa Ta'ala dalam setiap ucapan dan langkah amalannya; demikian juga agar terjauhkan dari segala bentuk kesyirikan. Semenjak seorang Muslim bangun dari tidurnya, hingga ia akan tidur kembali, bahkan saat ia mendapatkan mimpi buruk dalam tidurnya. Di setiap tempat dan keadaan, dalam kondisi bermukim dan safar, tatkala rasa was-was menghampirinya, doa dan dzikir di pagi hari dan petangnya. Demikian pula harapan kebaikan bagi dirinya, semua itu telah disempurnakan dalam ajaran Islam baik yang termaktub dalam al-Qur`ân maupun al-Hadits; sebagaimana ketentuan contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun bukan dengan "memaksakan" ayat-ayat atau bacaan-bacaan tertentu agar dapat menjadi doa yang ternyata menyimpang dari tuntunan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Barangsiapa mengamalkan sesuatu yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka amal tersebut pastilah tertolak dan sia-sia.
PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL:
 1.Kewajiban bertauhîd kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala dalam setiap keadaan dan keharaman berbuat syirik dengan bentuk apapun dan dalam kondisi apapun.
 2. Islam telah menutup semua celah yang akan menghantarkan kaum Muslimin kepada kesyirikan.
 3. Syirik adalah kezhaliman terbesar terhadap hak Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang Maha Besar. Pelakunya terancam dengan kesengsaraan di dunia dan adzab pedih di akhirat.
 4. Mengenakan jimat dengan berbagai keyakinannya adalah perbuatan syirik baik diyakini sebagai perantara maupun sebagai pelaku utama selain Allah Subhanhu Wa Ta'ala.
 5. Wajib mengingkari kemungkaran syirik dan dosa lainnya namun sesuai ketentuan hukum syariat Islam.
 6. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa jimat tamîmah adalah syirik dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah berwasiat untuk memeranginya dan memberantasnya.
 7. Tidak ada jalan lain untuk mencari kebahagiaan dan menjauh dari kesengsaraan melainkan dengan menjalankan semua bagian syariat islam.
 8. Memohon perlindungan hanyalah dari Allah Subhanhu Wa Ta'ala semata. Arahan Islam dalam memohon perlindungan dari berbagai bahaya dan celaka telah sempurna diajarkan dalam al-Qur`ân dan Sunnah.
 Semoga Allah Subhanhu Wa Ta'ala senantiasa membimbing kita untuk dapat berjalan di atas cahaya kebenaran Islam, amîn.
Referensi:
 1. Al-Mustadrak, Dâr Kutub `Ilmiyah Libanon. Cet II th.1422 H/2002 M. Muhammad `Abdullâh al-Hâkim an-Naisâburi.
 2. Al-Mushannaf, Al-Maktabah at-Tijâriyah Dâr Al-Fikr Beirut Libanon. Cet th. 1414 H/ 1994 M. `Abdullâh bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi
 3. Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, Dâr Ibnul-Jauzi KSA . Cet II th.1424 H. Muhammad Shâlih al-Utsaimîn
 4. At-Tamhîd li Syarhi Kitab at-Tauhîd, Dâr at-Tauhid KSA. Cet I 1424 H/2003 M. Shâlih `Abdul `Azîzi Alu Syaikh.
 5. Aunul Ma'bûd Syarh Sunan Abi Dâwud, Dâr al-Fikr Beirut Libanon. Cet III th.1399 H/1979 M. Muhammad Syamsul Haqqil 'Azhîm Abadi.
 6. Fathul-Majîd Syarh Kitab at-Tauhîd, Dârul-Kitâb al-Islâmi Madinah KSA. `Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh.
 7. Musnad Ahmad, Mu'assasah ar-Risâlah Beirut Libanon. Cet I th.1420 H/1999 M - Baitul-Aqthar Ad-Dauliyyah, th.1419 H/1998 M. Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani.
 8. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Maktabah al-Ma`ârif Riyâdh KSA. Cet th.1415 H/1995 M. Muhammad Nâshiruddin al-Albâni .
 9. Shahîh Sunan Abi Dâwud, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I th.1409 H/1989 M. Sulaimân al-Asy'âts as-Sijistâni - Muhammad Nâshiruddin al-Albâni.
 10. Shahîh Sunan an-Nasâ'i, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I th.1408 H/1988 M. Ahmad bin Syu'aib an-Nasâ'i - Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni.
 11. Shahîh Sunan Ibnu Mâjah, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet III th.1408 H/1988 M. Muhammad bin Yazîd al-Qazwini - Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni.
 12. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I 1409 H/1989 M. Muhammad bin `Isa at-Tirmidzi - Muhammad Nâshiruddin al-Albâni.
 13. Shahîh Muslim, Dâr as-Salâm Riyâdh KSA. Cet I th.1419 H/1998 M. Muslim bin Hajjâj an-Naisâburi.
 14. Shahîh al-Bukhâri, Dâr As-Salam Riyâdh KSA. Cet II th.1419 H/1999 M. Muhammad bin Ismâ'îl al-Bukhâri.
 15. Tuhfatul Ah-wadzi Syarh Jâmi' at-Tirmidzi, Maktabah Ibnu Taimiyah. Cet III th.1407 H/1987 M. Muhammad `Abdurrahmân al-Mubârakfury.
 16. Tafsîrul-Qur`ân al-`Azhîm, Muassasah Ar-Rayyân Libanon. Ismâ`îl bin Katsîr ad-Dimasyqi
 [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
 _______

Sumber: http://dakwahsyariah.blogspot.com/2013/05/kajian-keyakinan-sesat-pada-jimat.html#ixzz30CHH4Zp4

Kisah Syaikh Siti Jenar


Kondisi masyarakat pada jaman para wali tantangan hidup dan kehidupan tidaklah seberat jaman modern, dimana masyarakat lebih cerdas, kritis dan inovatif. Materialistis, realistis, logis dan sistematis lebih cenderung dipilih oleh masyarakat ilmiah sekarang ini dari pada Al-Quran dan Al-Hadits. Karena nilai antara pengembangan kajian pemikiran dan keyakinan hati (iman) tidak seimbang. Kalaupun ada, mungkin hanya sekedar obat penyejuk rutinitas, obat kebingungan dan kegalauan hati. Hal ini terbukti pada keberadaan para penyampai ilmu agama dan ilmu ilmiah masih terpisah. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Akan datang kepada manusia suatu masa yang ketika itu orang yang sabar di atas agamanya seperti menggenggam bara api." (Sunan Tirmidzi 2186).
Perkembangan ilmiah masih merujuk kepada teori-teori barat dengan filosofi mekanisme, bukan merujuk kepada Al-Quran dan Al-Hadits yang merupakan sumber dari filosofi keilmuan. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Aku ditolong dengan perantaraan angin yang berhembus dari timur (belakang pintu Kabah) sedangkan kaum Aad dibinasakan dengan angin yang berhembus dari barat." (Shahih Bukhari 977). Angin yang berhembus dari barat bersifat empiris, sedangkan angin yang berhembus dari timur bersifat rasa dan perasaan (non empiris).
Tugas para intelektual Islam sangat berat, karena harus membuktikan bahwa al-Quran benar-benar multi dimensional, tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan dan tak usang oleh masa.
Kemajuan ilmiah sangat diharapkan untuk menjembatani terbukanya universalitas nilai-nilai Islam seutuhnya. Aliran-aliran Islam selayaknya lebur diri dengan kaji ulang pemahaman berdasarkan garis khatulistiwa ilmiah. Hingga tidak ada lagi yang menyatakan saya yang paling benar, tidak ada lagi madzhab, adanya hanya Islam rahmat sekalian alam.
Garis khatulistiwa ilmiah adalah sebuah garis imajinasi ilmiah dengan lintasan bumi dan lintasan langit :
-          Lintasan bumi : meliputi Karakterisasi (observasi dan pengukuran) dan Eksperimen (pengujian). Dengan kata lain pengetahuan (syariat) menuju pengertian (tarekat).
-          Lintasan langit : meliputi Hipotesis (dugaan teoretis atas hasil observasi dan pengukuran) dan Prediksi (deduksi logis dari hipotesis). Dengan kata lain pengenalan (hakekat) menuju realisasi dalam langkah nyata (makrifat).
Upaya peletakan dasar Islam di Nusantara diperankan oleh para wali mengalami banyak batu sandungan. Keselarasan kajian dengan kondisi masyarakat sangat penting hingga memerlukan kemampuan dan kecerdasan, sebagaimana dialami walisongo. Mereka harus mengekang diri dalam penyampaian dasar Islam agar sesuai dengan kemampuan dan kecerdasan masyarakat.
Kontroversi ajaran Siti Jenar menjadi momok kesemrawutan peletakan dasar Islam di Jawa, karena pada kenyataannya mereka mudah memprofokasi masyarakat yang masih lemah kemampuan intelektual dan keislamannya. Namun kondisi itu sampai sekarang masih melekat di masyarakat dan membentuk berbagai aliran Islam termasuk berbagai aliran penghayat kebatinan dengan atribut budaya.

A.       Riwayat Siti Jenar
Pangeran Jayaningrat pahlawan agung Majapahit yang konon masih keturunan Mahapatih Gajahmada berhasil menangkis dan menumpas pembangkangan Raja Menak Badong dari Bali kepada Prabu Brawijaya V. Begitu bangganya Prabu Brawijaya V atas keberhasilan Pangeran Jayaningrat hingga dinikahkan dengan putri sulungnya (Putri Pembayun). Dari pernikahan ini mempunyai 3 anak : Kebo Kanigara, Kebo Kenanga dan Kebo Surastri (meninggal pada umur tiga tahun).
Melihat kehebatan ayahandanya pantas jika Raden Pattah meletakkan kecurigaan, kekhawatiran dan kewaspadan kepada Kebo Kenanga yang masih terhitung keponakan. Selain dalam dirinya mengalir darah pejuang besar, Kebo Kenanga dikenal bersahabat erat dengan puluhan ketua wilayah tanah Jawa yang kesemuanya menjadi murit Syekh Siti Jenar disamping murit-murit lainnya yang berjumlah ratusan orang.
Nampaknya kehawatiran Raden Pattah terhadap Kebo Kenanga cukup beralasan, karena Kebo Kenanga telah terang-terangan menunjukkan penentangannya dengan memberi kesan menyepelekan titahnya. Telah dua kali Raden Pattah mengutus orang kepercayaannya ke Pengging untuk meminta Kebo Kenanga datang menghadap ke Demak. Namun dua kali pula Kebo Kenanga tidak bersedia datang menghadap ke Demak.
Setelah Kebo Kenanga memahami ilmu Syekh Siti Jenar, ia menjadi tinggi hati dan bersikap menjelek-jelekan serta mencemooh ajaran Islam yang disampaikan walisongo. Bahkan Pemerintah Kerajaan Demak Bintara diremehkan dan diolok-olok sebagai melakukan perbuatan tidak pantas. Demikian pula masjid yang merupakan tempat suci, sarana banyak orang berbuat baik menuju keselamatan dan kebajikan dihinakan.
Kebo Kenanga menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat sehingga ajarannya meluas dan meresap dalam masyarakat desa diluar Pengging dan banyak orang yang menyetujui pendapatnya serta menjadi pengikutnya.
Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa alam kematian adanya didunia ini. Dan di dunia ini pula adanya sorga dan neraka, pahala dan dosa. Keadaan itulah yang dialami manusia selagi hidup di dunia yang dapat dibuktikan dengan banyak tanda-tanda yang nyata. Meskipun demikian, para waliullah salah terima dan menyebut sekarang ini hidup, sedang besok disebut mati !. Dalam meperdalam pendapat itu, Siti Jenar siang malam berusaha mensucikan budi serta menguasai ilmu luhur demi kemulyaan jiwanya.
Kepada murit-muritnya ia mengajarkan ; pertama-tama diberitahukan asal-usul kehidupan, kedua diberitahukan pintu kehidupan, ketiga diberitahukan tempat besok bila sudah hidup kekal dan abadi, dan keempat memberitahukan tempat alam kematian (didunia ini). Oleh karena itu murit Kebo Kenanga yang sudah beranggapan menguasai dan menyakininya, mereka mengharap-harap untuk hidup. Mereka tidak tahan lagi menjalani kematian di dunia ini.
Sungguh sangat disayangkan, memberikan pemahaman kepada masyarakat yang masih belum mampu tingkat keislaman dan intelektualnya. Mereka dihadapkan kepada pembahasan filosofis yang masih memerlukan realisasi pengkajiannya lebih lanjut. Mungkin yang dimaksud murit-murit Kebo Kenanga tentang ilmu Syekh Siti Jenar adalah Firman-nya :
  1. Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), (An Nisaa ; 66)
  2. Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.(Al Ankabuut ; 64)
Kajian abstrak direalisasikan dalam langkah kongkrit tidak akan pernah ada titik temunya. Sehingga penyimpangan perilaku mewarnai murit-muritnya. Mereka membuat keributan dan kekacauan, mengamuk dijalanan, sengaja bertekat mencari masalah demi mencapai apa yang diinginkannya yaitu menempuh kehidupan sejati.
Sebagian dari mereka ditangkap dan ditanya oleh Sultan Demak Bintara (Raden Pattah) “Hai kamu sekalian, mengapa kamu berbuat yang tidak patut terhadap sesamamu?” Menjawab salah seorang diantaranya dengan bahasa Jawa yang kurang hormat kepada Raja. “Aku mencari jalan yang menuju hidup sejati! Tidak tahan terlalu lama menjalani kematian. Kami semua murit pangeran Siti Jenar, yang sangat pandai dalam ilmu luhur. Ternyata alam ini alam kematian. Aku bosan dan muak melihat bangkai-bangkai berserakan dan berkeliaran ke mana-mana yang banyak sekali jumlahnya. Raja, penghulu, patih, jaksa semuanya adalah bangkai-bangkai yang bertutur. Para aulia, walisanga, santri-santri, kyai-kyai semuanya adalah bangkai yang tidak tahu apa-apa. Meskipun demikian, mereka bersikap sombong, sebagai orang mati memberi pengertian untuk menyembah Hyang Agung, wujud yang disebut Allah, sesungguhnya dunia ini tidak dapat mengetahui sifat-sifat Hyang Sukma.” 
Mensikapi keberadaan murit Kebo Kenanga itu Sultan Demak Bintara mengutus dua orang yang akhli (dalam menelaah ilmu) untuk menyelidiki seluk-beluk ajaran Syekh Siti Jenar di daerah Kredhasawa.
Setelah kembali ke Demak utusan itu didampingi oleh Patih Radyan Dipati Wanassalam menghadap Sultan Demak Bintara. Dan setelah menerima laporan utusan itu Sultan Demak Bintara terheran-heran dan berkata : “Wahai paman Patih, bagaimanakah pendapat pamanda untuk memberantas penjahat murit-murit Kebo Kenanga yang majenun itu ? Kalau masalah ini dibiarkan merejalela, membuka rahasia alam, malapetaka jadinya.”
Radyan Dipati Wanassalam menjawab : “Aduh bagaimana Sri Sultan Bintara. Seyogyanya paduka menemui para waliullah dan memberitahukan bahwa ada orang yang merusak agama Islam serta merongrong peraturan yang berlaku. Karena dia seorang mukmin, lagipula mendapat sebutan Pangeran Wali, hal ini membuktikan bahwa dia orang yang pandai menguasai ilmu serta peraturan agama. Oleh karena itu sebaiknya diserahkan kepada ke bijakan Walisongo.” 
Kemudian Sultan Demak Bintara segera mengenakan busana kerajaan dan menuju ke Masjid menjumpai Walisongo.

B.       Asal Usul Siti Jenar
Dalam Babad Tanah Jawa (Galuh Mataram), disebutkan bahwa pada suatu saat ada pertemuan para wali di Giri Kedaton Gresik. Dalam pertemuan itu Sunan Bonang berkata dihadapan para wali, “wahai saudaraku Sunan Giri, anggota Walisongo di Jawa ini telah lengkap delapan orang, Sunan Kalijaga-lah yang menjadi penutup”.
Sunan Giri meyetujui usul Sunan Bonang itu, para wali yang lainnya juga tidak ada yang keberatan, tetapi justru Sunan kalijaga sendiri merasa keberatan.
Berkata Sunan Kalijaga : “Hamba menjadi sunan, tetapi belum pernah mendapat-petunju-petunjuk. Bila tidak keberatan, hamba mohon petunjuk-petunjuk”.
Sunan Bonang menyanggupi lalu pergilah mereka berdua menuju sebuah telaga dan naik sebuah perahu. Ketika perahu yang dinaikinya bocor, Sunan Bonang menyuruh Sunan kalijaga mengambil tanah liat untuk menambal perahu itu.
Bulan penuh sedang memancarkan cahaya yang lembut. Suasana di telaga terasa tenang, tiada riak air yang membuat bunyi, tak ada angin yang mendesir. Ketenangan dan ketentraman melingkupi kedua makhluk diatas perahu itu, bagaikan suasana keheningan tengah malam jalannya pelajaran ilmu hikmah tingkat tinggi dari Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga.
Seperti orang bermain teka-teki, Sunan Bonang memperluas kias :
Sunan Bonang : “Ada suluh menyala dengan empat pusat, kalau api padam kemana perginya?”
Sunan Kalijaga : “Api pergi ke suluk tidak bercahaya.” Jawaban itu betul, karena ia dapat menerima dengan baik bersamaan turunnya wahyu kepadanya.
Sunan Bonang : “Jangan sekali-kali kau ucapkan atau kau ajarkan wejangan ini, karena ini adalah ilmu ghaib (ilmu rahasia). Kalau ini sampai terdengar makhluk lain, apapun ujudnya dan walaupun ia kafir asalkan mengerti maksudnya, ia akan menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).”
Tiba-tiba ada seekor cacing lur (cacing halus) yang mengerti akan wejangan Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga.
Cacing yang nempel di tanah liat penambal perahu itu berkata : “Wahai Kanjeng Sunan berdua, hamba dengan tidak sengaja ikut mendengar segala wejangan yang tuanku bicarakan. Hamba dapat mengerti, sehingga rasa-rasanya hamba akan jadi manusia.”
 Bertanya Sunan Kalijaga : “Siapa Kau ?”
Cacing lur berkata : “Hamba Cacing lur yang ada di dalam tanah liat yang tuanku pakai untuk menambal perahu.”
Sunan Bonang : “Sudah menjadi takdir Allah, cacing lur karena mendengar wejangan ini, ia manjadi manusia.
Kemudian cacing itu mengeluarkan uap, berproses dan akhirnya menjadi manusia, duduk bersujud di kaki Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ia menghormat kepada kedua wali yang dianggap sebagai guru dan penyebab ujudnya menjadi mulia.
Sunan Bonang : Kuterima sembahmu (penghormatanmu) mulai sekarang kamu bernama Syekh Lemah Abang, karena engkau berasal dati tanah liat yang merah rupanya.”
Kemudian Sunan Bonang berkata kepada Sunan Kalijaga, “Adi Sunan Kalijaga, itu suatu tanda ke Maha Kuasaan Allah SWT, tak dapat dipikir-pikirkan. Sebenarnya Adi Sunan Kalijaga sebelum diwejang pun telah menjadi kekasih Allah SWT. Yaitu pada waktu kamu hendak pergi haji ke Mekkah. Kamu disuruh kembali dan bertapa dibawah Titian Galinggang. Kamu tidur disitu 100 hari lamanya, andaikata kamu bukan kakasih Allah tentang badanmu sudah hancur lebur, kamu telah terpilih oleh Allah. Kehidupanmu akan abadi, walaupun badanmu akan hancur binasa. Kamu akan terus hidup, walaupun penghidupanmu takkan menghidupi. Semua wali belum pernah ada seorangpun yang telah menyeberangi lautan kematian (maut), ketempat yang telah kamu kerjakan. Aku ini seperti menghadapi botol di dalam gelas, dapat melihat maya (bukan barang yang sesungguhnya) tapi belum pernah merasakannya. Oleh karena itu bila setuju, tunjukilah aku, Adi Sunan Kalijaga, biarpun aku dikatakan orang, kerbau menyusu pada anaknya, wali berguru pada sahabat.”
Tentang asal usul Syekh Siti Jenar ini menjadi banyak versi, berbagai nama, dan tempat tinggal. Kontroversi ini patut dipertayakan, adakah sosok manusianya ?
Masyarakat Jawa ada yang memahami Syekh Siti Jenar membawa paham keagamaan yang disebut  manunggaling kawula Gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan). Walaupun paham sufistik ini dianggap berasal dari sufi Persia (al-Hallaj), tetapi karena paham ini berkembang di jawa tentunya dalam bahasa Jawa dan diperlukan seorang tokoh yang dapat dianggap sebagai pembawa ajaran ini di Jawa.
Benarkah ajaran sufi Persia al-Hallaj sama dengan manunggaling kawula Gusti (nya) Syekh Siti Jenar atau mungkin dengan kajian lebih mendalam ?
Seorang penulis tentang Islam di Jawa, Umar Hasyim menulis :
Mereka mengingatkan bahwa peristiwa Siti Jenar hanyalah hayalan dan Siti jenar hanyalah tokoh yang diadakan saja untuk menyatakan pertentangan antara faham tashawuf Wihdatul Wujud dengan faham tashawuf yang benar-benar menurut Sunnah Rasul. Wihdatul Wujud itu ittihad atau tahallul yang dalam falsafah kejawen dinamakan manunggaling kawula Gusti adalah sesat. Tuhan (Gusti) adalah bersatu (manunggal) dengan makhluk (kawula), dan tentunya falsafah ini adalah kufur. Maka cerita Siti Jenar diadakan untuk memperingatkan kepada masyarakat bahwa ajaran munggaling kawula Gusti itu sesat dan berbahaya bagi ajaran Tauhid.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa Syekh Siti Jenar menganut faham manunggaling kawula Gusti, kita kutip sebuah kisah yang ditulis Mark R. Woodward :
Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syekh Siti Jenar. Ia menjelasakan bahwa Syekh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku seorang wali yang nomal. Syekh Maulana Maghribi berpendapat, hal ini akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariat Nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke Goa tempat Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke mesjid. Ketika mereka tiba, mereka diberitahu, hanya Allah yang ada dalam Goa. Mereka kembali ke mesjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya. Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke goa dan menyuruh Allah untuk segera menghadap para wali. Kedua santrinya itu kemudian diberitahu, Allah tidak ada dalam goa, yang ada hanya Syekh Siti Jenar. Mereka kembali ke Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik Allah maupun Syekh Siti Jenar. Kali ini Syekh Siti Jenar keluar dari goa dan dibawa ke mesjid menghadap para wali. Ketika ia tiba Syekh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang ke sini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang doktrin sufi. Di dalam musyawarah ini Syekh Siti Jenar menjelaskan, doktrin kesatuan makhluk, yaitu dalam pengertian akhir hanya Allah yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa digambarkan antara Allah, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri mengatakan doktrin itu benar, tetapi ia meminta jangan diajarkan karena bisa membuat kosong masjid dan mengabaikan syariah. Syekh Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.
Dari musyawarah ini menunjukkan bahwa yang menjadi masalah bukan substansi ajaran Syekh Siti Jenar tetapi penyampaian paham ini kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syekh Siti Jenar belum bisa disampaikan kepada masyarakat luas, sebab mereka bisa bingung. Apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk Islam.
Masih banyak lagi versi tentang asal usul Syekh Siti Jenar, namun belum ada yang membuka substansi keberadaannya secara logis, realistis dan sistematis.
Dari berbagai versi cerita ini ada beberapa nama lain dari Syekh Siti Jenar yang perlu menjadi perhatian untuk membuka tabir keberadaannya, karena tidaklah mungkin Kanjeng Sunan Bonang dalam serat Asmaradana menulis berbagai nama tanpa makna. Nama-nama tersebut adalah : Negeri Siti Jenar, Syekh Siti Jenar, Syekh Siti Brit, Syekh Siti Bang, Syekh Siti Luhung, Kasan Ali Saksar, Syekh Lemah Bang, Syekh Lemah Kuning dan San Ngali Ansar dan Raden Abdul Jalil.
Wejangan Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga diberikan diatas perahu disebuah telaga, bukan di sebuah ruangan yang tertutup rapat (rahasia). Tetapi sengaja memberikan wejangan diatas perahu, yakni perahu kehidupan untuk mengarungi telaga sufistik, cacing lembut pun mampu menelaah prosesi penyampaian wejangan itu. Atau mungkin memang cacing lur itu yang menjadi inti persoalan dari wejangan itu yaitu testes yang menghuni sperma.

AJARAN SUFI AL-HALLAJ DAN SYEKH SITI JENAR
Bagi mereka yang mengenal sejarah Islam, ia mengenal kata-kata Anal Haqq. Sebenarnya kata-kata ini sudah menggoda keawaman, apalagi kesalehan seorang muslim. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan riwayat dan kisah-kisah Mansur al-Hallaj (seorang sufi besar), namun mati dipancung di tiang gantungan penguasa Islam di Bagdad.
Diriwayatkan bahwa, pada saat-saat terakhir hukuman mati Manshur al-Hallaj ia masih memohon kepada Allah SWT untuk mengampuni dan memberi karunia kepada mereka yang sedang kerasukan membunuhnya.
Bagian akhir sanjak tiang gantungannya berkata :
YaaAllahdengarlahdukaku, bagi merekayang tinggalkelana, yang terseok, dan tersarukkarena buta, lebih butadari kawanan domba.
Ada apa Manshur al-Hallaj dengan Anal Haqq nya itu sampai naik ke tiang gantungan?
Kepentingan apa pula yang telah bermain sehingga pemerintah akhirnya membawa seorang sufi sebesar itu ke tiang gantungan dan membakar mayatnya supaya pupus ?
Samakah kasus Mansur al-Hallaj dengan kasus Syekh Siti Jenar ?
Sekilas terlihat pada keduanya hampir bersamaan, namun jika ditelisik dari keberadaannya sangat berbeda. Manshur al-Hallaj lebih bersifat sejarah ketimbang Syekh Siti Jenar. Sedangkan versi-versi Syekh Siti Jenar lebih cenderung sebagai bentuk interpretasi para sarjana dalam menerjemahkan tulisan Sunan Bonang dan tulisan para wali lainnya. Tetapi tidakkah sejarah itu juga lautan iman, ilmu dan hari depan. Dapatkan Allah SWT dipahami tanpa sejarah ? dapatkah Al-Quran, ilmu dan amalan terkaji diluar sejarah ? 
Kita perkuat pembahasan ini dengan kisah lainnya. ketika Nadir Syah penakluk dari Persia telah menaklukkan Delhi, maka kaisarnya (Mughal Muhammad Syah) dihadapkan kepada Nadir Syah sebagai tahanan. Nadir Syah memperlakukan kaisar itu (juga seorang penyair) secara amat sopan sembari meminta kepada kaisar yang kalah itu untuk membacakan beberapa bait sajaknya. Untuk itu Mughal Muhammad Syah dengan tanpa persiapan membacakan bait :
Ingat bukalah matamu dan ambillah pelajaran dari kebijaksanaan Ilahi
Betapa kealpaan kita mengangkat seorang Nadir (tokoh yang dikagumi)”                         
Bait itu begitu mempesona Nadir Syah si penakluk, sehingga ia menyerahkan kembali kerajaan itu kepada Mughal Muhammad Syah dan Nadir Syah balik pulang ke Persia.
Jika bukan karena mementingkan kehidupan dunia, seharusnya telah terbuka mata kita. Sejak abad-21 seluruh dunia dilanda krisis global, yakni krisis ekonomi dan krisis peradaban. Islam sebagai sosok agama diperangi oleh peradaban, hingga muncul Islam aliran keras dan sekte-sekte sesat, jihad fi sabilillah yang berubah menjadi teroris.
Mungkin karena tertinggalnya kajian Islam dari pada kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan senibudaya. Dari keadaan alam yang melapuk dan dari keakuan yang sedemikian kuatnya hingga membutuhkan pencerahan dan penerangan lugas mengenai kajian nilai-nilai Islam secara filosofis, logis, realistis dan sistematis dengan bahasa yang mudah dicerna masyarakat.
Islam harus bangkit dan berusaha untuk mampu mengatasi dunia yang semakin gelap ini. Kaum sufi memanggul obor cahaya, untuk mengungkap hakekat dan makrifat ilmu Nur Alam. Guna menerangi perilaku manusia dan peradaban yang semakin porak poranda. Merubah Islam yang kini masih dicap sebagai agama dogma dan kemabukan (jiwa sepi dari cahaya benderang) menjadikan Islam sebagai suluh dunia dan rahmat bagi sekalian alam.
Orang awam beranggapan bahwa sufistik hanya mempermasalahkan tentang mistik yang membahas hakekat dan marifat dan berujung pada pemahaman manunggaling kawula Gusti yang sudah dicap kufur. Padahal tanpa kajian sufistik, agama hanya sebagai dogma dan kemabukan dengan langkah terseok menuju kesadaran hampa.

Sekilas Tentang Ajaran  Al-Hallaj
Husen bin Manshur al-Hallaj terkenal dengan ucapannya yang kotroversial, “Anal Haqq”, yang berarti Akulah Kebenaran. Menurut al-Hallaj, esensi Tuhan tidak dapat diketahui karena esensi Tuhan berada diluar kategori-kategoti pengetahuan intelektual. Hal ini merupakan prinsip dasar seluruh aktivitas manusia.
Dunia fana, data indrawi yang terbatas, konstruksi logis ataupun model analogi, sulit digunakan untuk memahami Tuhan yang berada di luar jangkauan alam pikiran. Pikiran yang dikembangkan dan dilatih dalam dimensi-dimensi ruang dan waktu tidak dapat keluar dari dunia kemakhlukan, sehingga pencapaian esensi Tuhan takkan pernah diketahui.
Melalui peniadaan kedirian, ke-tidak berdayaan, ke-fakiran dan ke-heningan manusia hanya sebagai upaya optimalisasi kesadaran diri hingga mampu menerima induksi gelombang halus. Sedangkan fenomena-fenomena, konstruksi logis, interpretasi dan kehilafan adalah tirai yang menutupi rahasia Tuhan yang abadi dalam keesaan-Nya. Sehingga jurang pemisah tetap ada antara yang terbatas dan yang tidak terbatas.
Akhirnya al-Hallaj berkata, “Yang benar tetap yang benar, pencipta sebagai Khaliq dan segala apa yang diciptakan tetap makhluk. Ini akan tetap demikian.”
Tetapi Ana sebagai perluasan dari kondisi manusia (tak terpisahkan dari kemakhlukan), mengemban peran mengukuhkan dalam kesadaran serta melakukan alienasi diri. Walaupun juga menyadari bahwa kondisinya diselimuti oleh kehadiran Tuhan yang abadi.
Ana terus menerus hidup dalam lingkungan Al-Haqq. Ini juga terlihat jelas bahwa Ana dan Al-Haqq tidak dapat menyatu, keduanya senantiasa terpisah dan jurang pemisahnya tetap tak terjembatani.
Namun dikalangan sufi, Anal Haqq” adalah syathahat, yaitu ungkapan ekstatis, yang diungkap ketika seseorang mengalami ekstase sewaktu berada dalam keadaan sukr (mabuk spiritual). Sukr adalah hilangnya kesadaran diri karena pengaruh spiritual yang kuat, misalnya tenggelam dalam zikir kepada Allah SWT dan menemukan Allah SWT dalam konsep spiritual (sama). Sukr adalah keberlimpahan cinta Allah SWT dalam hati dan berpuncak pada peleburan diri dalam Allah SWT, ketiada diriannya ditempati oleh induksi ke-Esaan-Nya.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal (Al Anfaal,  2).”
Karena itu dalam tasawuf, ajaran al-Hallaj tidak dapat disalahkan. Kalau hendak disalahkan hanyalah karena dia mendeklarasikan syathahat-nya, yaitu secara terbuka mengumumkan “Anal Haqq” kepada masyarakat luas. Sementara masyarakat luas yang tidak terbiasa dengan pengalaman sufistik akan kaget mendengar ungkapan itu.
Hukuman terhadap al-Hallaj lebih mengarah kepada persoalan politik dari pada agama. Boleh dikata, al-Hallaj hanyalah korban pertetangan politik pada masa itu. Kontroversial dalam keagamaan hanyalah bias dari informasi terbatas yang diterima. Ucapan “Anal Haqq” telah melambung popularitasnya dalam sejarah pemikiran Islam dan menjadi bahan kajian yang menarik sepanjang masa serta menjadi inspirasi lahirnya tokoh-tokoh serupa di belahan dunia.

Sekilas Tentang Ajaran Syekh Siti Jenar
Pengaruh ajaran al-Hallaj membuka wacana dalam berkembangnya paham manunggali kawula-Gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan). Paham ini bisa disebut pamoring kawula-Gusti, jumbuhing kawula Gusti, curiga manjing warangka, warangka manjing curiga dan kadang-kadang hanya disebut manunggaling.
Menurut Soesilo, Syekh Siti Jenar memandang semua makhluk dan alam semesta ini tersusun dalam suatu susunan yang hierarkis atau bangunan yang bertingkat. Sedangkan puncaknya adalah Allah. Setiap tingkatan berasal dari tingkatan yang lebih tinggi. Tingkatan ini terjadi kebawah dan keatas dengan jalan emanasi. Hanya manusialah yang memiliki kemampuan melakukan kenaikan tingkatan sampai kepada yang tertinggi, yaitu Allah.
Menurut Syekh Siti Jenar, kewajiban syariat, ritual-ritual formal seperti shalat, puasa, zakat dan haji, tidaklah diperlukan lagi pada saat mencapai puncak penyatuan hamba-Pencipta. Syekh Siti Jenar jelas menyatakan dirinya Tuhan dan Tuhan adalah dirinya (pada saat mencapai puncak penyatuan hamba-Pencipta). Akhirnya ajaran ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa pada saat manusia yang telah mencapai taraf penyatuan dengan Tuhan tidak lagi terbebani hukum. Perlu dipahami betul bahwa kondisi ini hanya sesaat dan sangat erat hubungannya dengan hidayah dari Allah SWT dari pada hasil ibadahnya.
Dari ajaran Syekh Siti Jenar kita bisa belajar untuk memahami sebuah dunia yang barangkali terlalu asing tetapi sangat menarik. Tasawuf adalah sistem berpikir, ajaran yang mengajarkan pendekatan diri kepada Tuhan sebagai tujuan akhir, dengan mengembangkan kehalusan (rasa dan perasan) dalam hati dan terealisasi pada lingkup tindakan yang baik.
Untuk memahami pengertian manunggaling ini tidaklah perlu meletakkan persepsi yang terlalu tinggi, karena jika terpeleset kekufuran yang didapat. Untuk itu pondasi hukum dan perangkat jasmani harus dipersiapkan dengan kuat, jika tidak prosesi manunggaling akan terhambat dan terselewengkan oleh bias-bias energi alam sekitarnya.
Sebagai ilustrasi untuk mempermudah pengertian ini, rubahlah tujuan manunggaling anda, misalnya kepada prosesi melukis. Ada dua pondasi yang harus diletakkan dengan kokoh :
a.  Pondasi rohani (cinta buta) dengan semangat dan pemasrahan mewujudkan aura dan  rasa.
b. Pondasi jasmani dengan ilmu (pewarnaan, media, teknik, imajinasi dan pemaknaan obyek lukisan) dan langkah nyata    mewujudkan bentuk.
Dalam prosesi ini harus meniadakan kedirian anda (jangan merasa bisa dan jangan berpola pikir), fokuskan niat anda dan satukan rasa dan perasaan dengan obyek lukisan.
Tangan anda akan bergerak reflek dalam melukis termasuk memilih warna.
Pada saat rasa dan perasaan anda (subyek) menyatu dengan lukisan (obyek), itulah manunggaling subyek dengan obyek. Jika pada saat itu anda (subyek) dipanggil guru lukis anda, anda akan mengatakan “saya tidak ada yang ada lukisan”, karena subyek sedang fokus pada obyek. Ketika sang guru lukis memanggil lukisan (obyek), anda akan menjawab “lukisan tidak ada yang ada saya”, karena lukisan (obyek) terikat dengan anda (subyek). Tetapi ketika sang guru lukis memanggil subyek dan obyek, maka anda akan datang karena anda yakin bahwa yang akan dibicarakan oleh guru anda tentang prosesi anda melukis.
Realitanya, apakah anda menyatu dalam kesatuan yang utuh dengan lukisan ?
Ilustrasi ini disampaikan untuk mengingatkan, agar kita tidak terjebak dalam persepsi berdasarkan pengetahuan sempit dalam keakuan yang dimiliki. “Jadikanlah diri ini sebagai gelas kosong, sehingga banyak air (pengetahuan) yang dapat dituang kedalamnya”.
Ajaran Syekh Siti Jenar ditolah, terutama oleh penguasa pemerintahan Kerajaan Demak Bintara, sedangkan Walisongo membenarkan substansi ajarannya, tetapi melarang penyebarannya karena masyarakat belum siap untuk menerimanya.
Ajaran ini pernah ditumbuh kembangkan oleh Kebo Kenanga (Kiangeng Pengging) sebagai aliran Islam abangan. Secara politik dimanfaatkan oleh Kebo Kenanga untuk menarik simpati masyarakat guna menandingi kekuasaan Kerajaan Demak Bintara yang berpegang pada Islam aliran putih, Islam murni dari Timut Tengah secara tekstual.
Setelah Islam menguasai kehidupan agama di Jawa, menggantikan agama Hindu, timbullah penghayatan otonomi manusia yang unik akibat ajaran tasawuf. Yakni adanya ajaran tentang insan kamil (manusia sempurna) yang dalam tasawuf disebut manunggaling kawula-Gusti. Otonomi ini berkaitan dengan penghayatan kejiwaan yang bersifat metafiska, mengajarkan untuk melepaskan diri dari bentuk keakuan. Dimulai dari upaya mawas diri untuk mengenal dan menguasai nafsu, yaitu mengambil jarak dengan nafsu ammarah, lawwamah dan suffah untuk dapat menguasai diri dan membebaskan diri dari hambatan nafsunya.
Manunggaling kawula-Gusti berarti beradanya manusia dalam Tuhan. Di sanalah tempat sejati, kesanalah ia harus kembali. Juga berarti bersemayamnya Tuhan dalam diri manusia, sebagaimana dijelaskan dalam Serat Wedatama Pupuh Pucung, bait ke-12 :
Bathara gong, inguger jejantung/jenet hyang wisesa,
Sana pasanetan suci,
Nora kaya simudha mudharangkara.
Artinya :
“Tuhan yang Agung disemayamkan dalam pusat jantung, disitu kesukaan Hyang Maha Kuasa, itulah singgasana yang tersembunyi. Tidak demikian bagi para muda yang mengikuti nafsu angkara murka.” 
Menurut PJ. Zoetmulder, paham tentang bersemayamnya Tuhan dalam diri manusia tidak berdiri sendiri, tetapi ada presedennya dalam tasawuf. Di sana kita berjumpa dengan bersemayamnya Tuhan dalam hati manusia, yakni bagian yang paling halus dalam hati manusia yang dinamakan sirr (rahasia).
Dalam Al-Quran, sirr atau induksi gelombang alam itu disebut sebagai tahta kesadaran. Dalam kemampuan menerima induksi gelombang alam yang dianut oleh al-Hallaj, memainkan peranan penting dalam mempertahankan dan mengembangkan data dari Al-Quran bahwa hati (jantung) merupakan organ yang disiapkan Allah bagi kontemplasi. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Ar Rad ; 28)
Sedangkan hati itu bersekat : Ruhul Qudus, Ruhul Quwwatin, Ruhul Qowwabin, Ruhul Islah, Ruhul Amin dan Ruhul Muqorrobin. Terbukanya sekat hati ini membentuk sentra jati diri yang kokoh yang disebut “mutiara suci.”
Fungsi itu tidak dapat dilakukan tanpa organ, karena organ menggiring manusia pada kesadaran akan komponen tubuh, fungsi masing-masing komponen, interaksi fungsi antar komponen dan sistematika universal komponen tubuh. Tujuannya ialah terbukanya sekat hati, menyucikan hati dan memuliakan hati. Nabi Muhammad SAW bersabda : “Maha Suci Allah, dengan memuji kepadaNya sebanyak makhlukNya, seluas keridhaan diriNya, berat timbangan ArsyNya, dan sepanjang kalimat-kalimatNya." (Sunan Abu Daud 1285)
Al-Hallaj mencoba memuliakan perkembangan terakhir itu, yang tak terhingga meliputi hati. Jika sirr masih berada di tengah-tengah nafsu-nafsu, merupakan kepribadian yang masih tidur (mati), kesadarannya masih terliputi.  Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti. (Al Baqarah ; 73)
Yang dimaksud dengan sebagian anggota sapi betina adalah hakekat dari ayat-ayat Al Baqarah yang dapat membangunkan kesadaran manusia untuk dapat menerima sirr.
Selama Tuhan tidak mengunjungi sirr, kepribadian yang tertidur itu tetap tanpa wujud, itulah sarirah, semacam kata ganti yang tidak pasti, “aku” yang masih bersifat sementara.
Jika manusia bersedia meninggalkan selaput terakhir (terbuka sekat) dari hatinya, maka Tuhan membuahinya, memasukkan dhamir, kepribadiannya yang jelas dan definitive, “kata ganti” yang sah, hak untuk berkata “aku.” Hak itu mempersatukan manusia suci dengan sabda Ilahi dengan “kun” karena Ruhul Qudus mampu menerima induksi dari Allah SWT.
(Sesudah al-Ghazali menyamakan cahaya dengan Ada dan kegelapan dengan Tiada, ia meneruskan).  Ada pun dapat dibagi, menurut Ada dari dirinya sendiri dan Ada yang berasal dari pihak lain. Yang terakhir itu mempunyai Ada yang berasal dari sumber lain yang tidak mandiri. Yang Adanya, hanya bersifat relasi terhadap sesuatu yang lain dan itu sebetulnya bukan Ada yang nyata seperti telah anda lihat dalam perumpamaan tentang busana yang dipinjamkan oleh orang kaya. Yang sungguh Ada ialah Allah, sama seperti Cahaya sejati ialah Allah. (PJ. Zoetmulder; 28-29)
Dalam Kitab Bonang yang dianggap selaras dengan ajaran putih disebutkan : Sesungguhnya adanya Tuhan itu bersifat tunggal, langgeng, mahasuci dan itu bukan sesuatu yang lain daripada ada-Nya (kodrat-Nya) yang tidak material, yang pada awal mula memberikan Ada kepada segala sesuatu. Sesungguhnya Ia tidak termasuk alam kebendaan, tidak menjiwai dan tidak dijiwai, tidak berbaur dengan buah ciptaan-Nya karena Ia ada sebelum segala sesuatu dan bersifat langgeng dan mahasuci, sifat-Nya yang lepas dari kebendaan meliputi segala sesuatu, Maha Sempurna, Maha Elok, Mahamulia, Mahatinggi, dan Mahaluhur. Mengenai hakekat-Nya, tak seorangpun tahu akan sifat-Nya yang lepas dari kebendaan (suksma), hanya Ia sendiri maklum akan jiwa-Nya.
Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengertian itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri. Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran tertinggi yang dapat dicapai manusia. Tataran ini adalah Insan Kamilnya Muslimin, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan.
Yang penting bagi kita bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan kebenaran secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih dari memperkokoh langkah nyata. Langkah nyata atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.
Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan atau aturan tertentu, boleh percaya tidakpun boleh.
Garis khatulistiwa ilmiah (diterangkan diatas) tidak dapat ditolak dalam mengemban amanah (Khalifah) Allah SWT.  “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Al Anbiyaa ; 107). Sehingga ibadah kita seimbang lahir-batin.
Jika ibadah tanpa mengenal hakekat dan makrifat, maka ibadahnya bagaikan tubuh tanpa ruh. Dan jika ibadah hanya hakekat dan makrifat tanpa syariat, maka ibadahnya bagaikan ruh tanpa tubuh.                     
Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi awal abad ke-21 ini, buku-buku agama Islam dari Timur Tengah dengan mudah didapatkan. Dan karena tertarik dengan pelaksanaan Fiqih berdasarkan Al-Quran dan Hadits yang murni, KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi keagamaan yang dikenal dengan “Muhammadi-yah” pada tahun 1912. Mereka menamakan modernisasi Islam yang berpedoman hanya kepada Al-Quran dan Hadits, ajaran-ajaran lainnya yang berbau budaya dan tasawuf dipenggal, keberadaan Walisongo dianggap hanya legenda dan gagal total.
Pada awalnya organisasi ini diikuti oleh kaum intelektual, namun sekarang sudah berkembang ke semua lapisan masyarakat.
Ada dua pertanyaan fundamental yang diajukan KH Ahmad Dahlan :
  1. Apakah saudara-saudara tahu betul apa agama Islam itu ?
  2. Apa saudara berani beragama Islam ?
Sangat tidak mudah menjawab pertanyaan ini, kecuali bagi orang-orang sungsang (kulit dianggap isi, sedangkan isi dianggap kulit) karena melihat dari sudut pandang yang sempit.
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbu-at dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Maaidah ; 3)
Kulitnya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu,” isinya terletak pada kalimat-kalimat sebelumnya. Menjalankan isi (tekstual) benar, namun lebih bijak lagi jika menjalankan dengan kontekstual (hakekat dan makrifat)nya, hingga isi ada dalam kulit berbulu indah dan bercahaya.
Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni-budaya berkembang dengan pesatnya. Kecerdasan dan intelektual masyarakat melampaui nilai-nilai agama yang dipahami. Sehingga Al-Quran dan Hadits tidak lagi dijadikan rujukan dalam ilmu, prosesi ibadah sudah bergeser menjadi rekreasi iman dan penyejuk jiwa sesaat.
Syekh Abdul Qodir Jailani pernah menjelaskan kepada salah seorang muritnya : “ janganlah anda merasa menguasai ilmu sufi, sebelum anda memahami tugu sufistik”. Tugu sufistik itu ada delapan kajian yang harus disadari untuk menjadikan diri penyelam Islami Kaffah :
1. Langkah nyata, dalam diri merupakan kesadaran jasmani bahwa dalam diri ada pikir, niat dan kehendak yang dapat berinteraksi dengan keberadaan alam sekelilingnya. Gunakan panca indra sebagai sensorik, juga rasa sebagai irritabilitas, kemudian olah dalam otak, pastikan dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan saring berdasarkan niat luhur.
Gunakan “ Hu Allah “ sebagai dasar atau pondasi.
2. Budi Luhur, sebagai refleksi dalam mensikapi permasalahan dengan kejernihan hati, kejujuran hati dan ketepatan kedudukan hati. Satukan dalam suatu refleksi (budaya) sikap diri, kecenderungan ini dibakukan oleh pakem-pakem titian diri yang telah ditetapkan Allah sebagai sejatinya diri.
Gunakan oleh rasa “ lahaula wa laquwata illah billah ” sebagai dasar atau pondasi.
3. Ilmu yang Luhur, ilmu yang diolah oleh kecerdasan dan kemulyaan pikir, sehingga tidak sempat lagi berpikir buntu karena sarat dengan kehendak yang tidak sejalan dengan titian diri. Kesempurnaan rasa dan perasaan yang memberi jalan kepada titian diri. Tatakan ini penting bagi pemikir karena kebanyakan diantara manusia mengolah berdasarkan kehendak.
Gunakan “subhanallah hal adzim ” sebagai dasar atau pondasi.
4. Berpikir Mulia, tempatkan rekayasa diri pada kemaslahatan ummat, bukan untuk kerugian dan bukan untuk diri sendiri.
Gunakan tatakan “Alhamdulillahi robbil alamin ” sebagai dasar atau pondasi.
5. Pemasrahan yang Nyata, tidak perlu merekayasa apa-apa yang belum datang waktunya. Sempurnakanlah tatakan diri pada kenyataan yang ada, jangan salahkan orang lain, tetapi olah diri sendiri agar dapat mensikapi apa-apa yang ada dalam diri dan alam sekitarnya.
Gunakan bahasamu “ tidak tau apa-apa dan tidak punya apa-apa ” sebagai dasar atau pondasi.
6. Berpedoman sifat Nabi sebagai Hamba, olah diri dalam kesadaran lahir batin, sempurnakan sistematika (siklus) diri yang tidak akan pernah berhenti kecuali sudah selesai tugas hidup.
Jumeneng roh ingsun, roh Muhammad, diamkan kemampuan diri seolah-olah tidak ada, tetapi yang ada hanya wakil Allah dalam diri yaitu Nur Muhammad. Olahan diri ini hanya dalam diri dan tidak untuk keluar, karena pada diri yang kuat dialah sang kekasih Allah. Tanpa menganggap diri yang menentukan langkah hidup dan kehidupan. Kuncinya dalam rasa, alam pikir dan semangat diri yang ada dalam diri sendiri. Langkah diri akan keluar manakala diperlukan.
Gunakan “ Sodaqollahul adzim ” sebagai dasar atau pondasi.
7. Berpedoman sifat Rasul sebagai Hamba, sifat ini semulya-mulyanya langkah. Langkah nyata (keluar) setelah pengolahan diri matang dalam keseimbangan Rahmatan lilalamin. Tidak untuk diri sendiri tetapi untuk kemaslahatan alam sekitarnya.
Gunakan   “ Qolu samina wa atona, khufronaka robbana wa ilaikal masyiir  ” sebagai dasar atau pondasi.
8. Sesungguhnya Akulah Allah, tidak ada Allah kecuali Aku,  hati-hati dalam hal ini, karena mudah terpeleset.
Jika mampu menanggalkan akunya diri (kedirian) dan yang ada hanya sistematika baku dari berbagai proses alam, maka yang ada dalam diri hanyalah induksi dari Allah yang diyakini dengan Haqqul Yakin, dibawah itu belum bisa.
Kedudukan diri tidak ada kecuali Allah dan Allah pun tidak ada (berubah menjadi bayangan Allah) manakala dibutuhkan alam, secara jasmani. (hati-hati betul dalam hal ini)
Tunggu langkah yang ditetapkan Allah (sesuai dengan sistematika alam). Sempurnakan ketiada dirian, sampai Allah terinduksi dalam Nur Muhammad (kemulyaan diri). Yang lain tidak ada.
Gunakan “ Innalillahi wa inna lilaihi rojiun  ”  sebagai dasar atau pedoman.
9. Air Kehidupan, sebagai akulmulasi kemampuan diri dalam kemulyaan diri, yang menyatu (berinteraksi) dalam sifat air yang meliputi seluruh dimensi di alam semesta.
Ingat, jangan berlebihan, gunakan sebatas kepentingan.
Gunakan “ innallaha Qun fa yaqun ” sebagai dasar atau pondasi.
Ilustrasi lukisan ini hanya sebagai sudut pandang, bukanlah kebenaran mutllak. Akan tetapi lebih bijak manakala anda dapat mengkaji lebih lanjut sesuai dengan sifat dan keberadaan anda. Yang penting anda merujuk pada kitab suci yang bagaikan intan berlian, jika dipandang dari sudut manapun tetap bercahaya, yang keberadaannya tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas. Itulah kitab suci dari Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Jika demikian, bukanlah aku yang paling benar, juga bukan aku yang paling pandai dan juga bukan aku yang harus dipentingkan. Aku hanya seonggok daging yang tak tau apa-apa dan tak punya apa-apa. Aku hanya mengajak aku-aku lainnya untuk saling berbagi kasih sayang dalam menjaga keseimbangan alam yang semakin menipis.
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al Anbiyaa, 107)
Wallahu alam bisysyawaf.
http://www.alamsuar.com/berita-164-prosesi-pemancungan-siti-jenar.html

Dua kalimat syahadat (Syahadatain)

Dua kalimat syahadat (Syahadatain) merupakan rukun Islam yang pertama. Seseorang jika ingin masuk Islam, maka dia harus mengucapkan 2 kalimat syahadat dengan penuh keyakinan. Ucapan syahadat juga selalu kita ucapkan setiap kita shalat di dalam tahiyat.

Dari Umar ra, beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya, kemudian berkata: ”Wahai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.”

Kemudian Nabi menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang haq disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Hendaklah engkau mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji ke rumah Allah jika engkau mampu mengerjakannya.”

…dan seterusnya hingga selesai seperti hadits sebelumnya HR. Muslim).

Kalimat Syahadat merupakan peneguh yang diberikan Allah untuk meneguhkan orang yang beriman.

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat,dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (QS. Ibrahim: 27)

Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat ini adalah dua kalimat syahadat yang dipahami dan diamalkan dengan benar, sebagaimana yang ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (jilid 4, hal. 1735):

Dari Baro’ bin ‘Azib ra bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “seorang muslim ketika dia ditanya di dalam kuburnya oleh malaikat Munkar dan Nakir maka dia akan bersaksi bahwa ‘tidak ada Tuhan kecuali Allah’ (لا إله إلا الله) dan ‘Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah utusan Allah’ (محمد رسول الله), itulah makna Firman-Nya: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.

Syahadat Pertama

Syahadat pertama, “Laa ilaaha illallahu” artinya “Tidak ada Tuhan selain Allah.” Artinya dia hanya menyembah Allah dan tidak menyembah yang lain sebagai sekutu Allah. Dia hanya mentaati perintah Allah. Bukan mentaati perintah yang lain sehingga akhirnya justru mengingkari perintah Allah. Kalimat ini disebut kalimat Tauhid.

Kalimat Tauhid Adalah Inti Ajaran Para Nabi.

Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia…” [QS 7:158]

Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). [QS 7:59]

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” [QS 7:65]

Banyak lagi ayat Al Qur’an yang menyebut para Nabi mengajak kaumnya dengan kalimat Tauhid agar hanya menyembah Allah dan tidak mempersekutukannya.

Tauhid inilah yang utama didakwahkan oleh ummat Islam ke seluruh manusia sehingga mereka mengucapkan 2 kalimat syahadat dan meyakininya sepenuh hati.

Syahadat Kedua

Syahadat kedua, ”Muhammaddur rasulullah” artinya Muhammad adalah utusan Allah. Dengan syahadat ini, ummat Islam meski meyakini adanya rasul lain seperti Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan sebagainya namun hanya mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai rasul. Ini karena ajaran para rasul lain sudah diselewengkan oleh pengikutnya sehingga justru bertentangan dengan ajaran yang aslinya seperti mempersekutukan Allah dengan makhluknya.

Dengan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, kita wajib meyakini apa yang dibawanya, yaitu Al Qur’an, berikut penjelasan dan contoh yang dia berikan, yaitu sunnah Nabi. Selain meyakini, kita juga harus mengamalkannya dengan mentaati perintahnya dan menjauhi larangannya serta beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala sesuai dengan yang dicontohkannya (sesuai syari’at).

Kita wajib meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir yang harus kita contoh dan ikuti.

”Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi” [QS Al Ahzab:40]


Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: “Rantai Kerasulan dan Kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku”. (Tirmidhi, Kitab-ur-Rouya, Bab Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik).

Artinya jika setelah Nabi Muhammad ada yang mengaku sebagai Nabi dan berusaha menyampaikan ajaran Islam melalui versinya, kita wajib mengingkarinya karena sesungguhnya mereka adalah pendusta dan ajaran Islam sudah sempurna:

“Akan ada pada umatku 30 pendusta semuanya mengaku nabi, dan saya penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku” [Abu Daud]

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” [Al Maa-idah:3]

Kita wajib meyakini kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam karena beliau mendapat wahyu dan bimbingan langsung dari Allah. Selain itu beliau sebagaimana para Nabi lainnya terjaga dari dosa (maksum) karena begitu ada kesalahan sedikit langsung mendapat teguran dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan bertobat.

Seseorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat selesai wudlu, maka dapat memasuki surga dari pintu mana saja yang dia mau.

Seorang yang selesai berwudhu dengan baik lalu mengucapkan dua kalimat syahadat, maka akan terbuka baginya pintu-pintu surga yang delapan dan dia dapat memasuki pintu yang mana saja dia kehendaki. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menyeru orang agar meyakini tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya. Kepada para dai yang dikirim ker berbagai tempat juga diajarkan agar hal itu merupakan satu bahan dakwah yang pokok:

2 Kalimat Syahadat inti Dakwah para Dai

Hadis riwayat Muaz ra., ia berkata:

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. mengutusku, beliau bersabda: Engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab. Karena itu, ajaklah mereka kepada persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Jika mereka taat, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka salat lima waktu dalam sehari semalam. Kalau mereka taat, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka membayar zakat, yang diambil dari orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang miskin di antara mereka. Jika mereka taat, maka waspadalah terhadap harta pilihan mereka. Dan takutlah engkau dari doa orang yang dizalimi, karena doa itu tidak ada sekat dengan Allah Taala. (Shahih Muslim No.27)

Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda: Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. adalah utusan Allah, mendirikan salat dan mengeluarkan zakat. Barang siapa melaksanakannya berarti ia telah melindungi diri dan hartanya dariku kecuali dengan sebab syara, sedang perhitungannya (terserah) pada Allah Taala. (Shahih Muslim No.33)

Mengucapkan 2 Kalimat Syahadat Imbalannya Surga

Setiap ummat Islam yang bersaksi dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka dia akan masuk surga.

Hadis riwayat Ubadah bin Shamit ra., ia berkata:

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda: Barang siapa mengucapkan: Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya dan bersaksi bahwa Nabi Isa as. adalah hamba Allah dan anak hamba-Nya, serta kalimat-Nya yang dibacakan kepada Maryam dan dengan tiupan roh-Nya, bahwa surga itu benar dan bahwa neraka itu benar, maka Allah akan memasukkannya melalui pintu dari delapan pintu surga mana saja yang ia inginkan. (Shahih Muslim No.41)

Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. dan Muaz bin Jabal berboncengan di atas tunggangan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda: Hai Muaz. Muaz menyahut: Ya, wahai utusan Allah, aku siap menerima perintah. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. memanggil lagi: Hai Muaz. Muaz menjawab: Ya, wahai utusan Allah, aku siap menerima perintah. Sekali lagi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. memanggil: Hai Muaz. Muaz menjawab: Ya, wahai utusan Allah, aku siap menerima perintah. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda: Setiap hamba yang bersaksi bahwa: Tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, maka Allah mengharamkan api neraka atasnya. Muaz berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberitahukan hal ini kepada orang banyak agar mereka merasa senang? Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda: Kalau engkau kabarkan, mereka akan menjadikannya sebagai andalan. (Shahih Muslim No.47)
Sumber : Syiar Islam

Sumber: http://dakwahsyariah.blogspot.com/2011/09/kajian-mengucapkan-2-kalimat-syahadat.html#ixzz30CCmCSdQ

Islam dan Teknologi

Krisis nuklir Iran hingga kini belum berakhir, Barat dengan didalangi AS menekan agar Iran tidak mengembangkan teknologi nuklirnya karena membahayakan perdamaian dunia. Inilah standar ganda AS, satu sisi membiarkan Israel mengembangkan nuklirnya dan mengancam negara-negara Arab dan Timur Tengah, sisi lain menekan Iran untuk tidak memiliki nuklir. Sebetulnya perdamaian apa yang dimaksudkan AS?, tentu saja perdamaian untuk dirinya dan sekutu-sekutunya.

Belum lagi, lemahnya penguasaan kaum muslimin terhadap sains dan teknologi, sehingga kita menjadi konsumen terbesar dari produk kapitalis Barat. Hal ini tentu disengaja oleh mereka agar negeri-negeri Islam selalu tertinggal dalam menguasai sains dan teknologi, sehingga kita selalu tergantung kepada mereka dan tidak pernah bisa mandiri. Kita bisa saksikan lemahnya kekuatan TNI ketika AS memboikot persenjataan militer, karena TNI di anggap melanggar HAM dalam beberapa kasus di tanah air.

Kita tidak akan membahas krisis nuklir Iran dan ketergantungan sains dan teknologi ini, tetapi kita akan fokus kepada sumbangsih Islam terhadap kemajuan sains dan teknologi Barat khususnya dan dunia umumnya. Bahkan beberapa pengamat Barat sendiri menyatakan bahwa tanpa Islam maka Barat tidak akan mengalami kemajuan hebat dalam sains dan teknologi seperti saat ini (Making of Humanity, Robert Briffault). Lihat 4, hal 69-72

Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan

Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan, Al-Quran menganjurkan manusia agar menggunakan akalnya sehingga bertambah keimanannya dan maju dalam kehidupannya. Tidak ada pertentangan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan, bahkan penemuan-penemuan baru memperkuat kemu’jizatan Al-Quran.
Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya (An-Nisa’ 82).

Bertolak belakang dengan Injil (bible) yang sering bertentangan dengan ilmu pengetahuan, gereja bahkan menghukum mati ilmuwan seperti Galileo yang mendukung teori Helisentris dari Copernicus bahwa matahari pusat tata surya. Sebaliknya, gereja mempertahankan teori geosentris bahwa bumi pusat tata surya. Lihat 4, hal 5 Inilah masa kegelapan Eropa yan terjadi sebelum abad ke 18 M. Al-Quran adalah wahyu Allah dan tidak ada pertentangan didalamnya, sedangkan injil yang di tulis 60-70 tahun setelah kematian Yesus telah dipengaruhi oleh campur tangan para pengikutnya dan bisa di revisi kapan saja dikehendakinya.

Salah satu bukti ilmiah Al-Quran adalah adanya batas yang jelas antara air tawar dan air asin (laut), meskipun keduanya bercampur. Hasil penelitian ilmuwan, pertemuan antara air tawar dengan air asin (laut) tidak akan menyebabkan percampuran keduanya karena adanya efek listrik dan magnetik yang saling berlawanan sehingga terciptanya sekat di bagian tengah kedua perairan tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Alah subhanahu wa ta'ala:

Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing (Ar-Rahman 19-20). Lihat 1, hal 41

Belum lagi penemuan ilmiah di bidang: matematik, optik, astronomi, geologi, biologi, farmasi, kedokteran dan lain-lain, yang semuanya tidak ada pertentangan dengan Al-Quran, padahal Al-Quran diturunkan 1.400 tahun yang lalu.

Islam memberikan kesempatan kepada akal manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya, selama tidak bertentangan dengan syari’at. Landasan yang digunakan adalah ketika para sahabat gagal panen kurma karena mengikuti anjuran Rasulullah saw dengan menggoyang-goyangkan pohon kurma. Rasulullah saw bersabda: “Antum a’lamu biumuridunyaakum” (Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian-HR Muslim). Sedangkan yang berhubungan dengan hadharah (budaya/peradaban) maka harus terikat dengan syari’at, seperti hukum-hukum yang berhubungan dengan aqidah, ibadah, mu’amalah, ‘uqubat dan lain-lain. Sehingga teknologi automotive misalnya tidak terkait dengan agama seseorang, kita bisa saja mengembangkan teknologi yang sudah ada di AS atau Jepang karena ini murni sains dan teknologi. Sedangkan budaya (hadharah) berpakaian adalah sesuatu yang terikat dengan Islam dan harus mengacu kepada syari’at Islam, dilarang (diharamkan) kaum muslimin meniru budaya berpakaian ala Barat yang membuka aurat.

Ahli dan Penemu Islam Di Berbagai Bidang

Di zaman keemasan kekhilafahan Islam ilmu pengetahuan berkembang demikian pesatnya, untuk mengembangkan ilmu pengetahuan para Khalifah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian. Salah satunya Khalifah Harun Al-Rasyid (169-194 H) yang mendirikan sekolah farmasi dan kimia.

Dengan kondisi seperti itu maka bermunculan para ahli dan penemu di berbagai bidang, antara lain: Ibnu Sina ahli kedokteran dan matematika; Jabir Ibnu Hayyan ahli kimia dan kedokteran (penemu teori sulfur merkuri dari logam);  Al-Kindi seorang ahli fisika, astronomi dan optik; Al-Baitar ahli botani (tumbuh-tumbuhan) dan farmasi; Muhammad, Ahmad dan Hasan tiga serangkai di bidang teknik dan mekanik; Ibnu Hazen ahli optik, fisika dan matematik; Al-Qirafi ahli optik; Khuwarizmi ahli matematika, astronomi dan geografi (penemu logaritma); Abul Wafa ahli triginometri (penemu sinus dalam bangun segi tiga) dan sederetan panjang para ahli muslim di berbagai bidang. Bahkan Thomas Alfa Edison bukanlah penemu listrik, karena listrik telah ditemukan terlebih dahulu oleh Al-Jazzar. Penemuan kertas dengan bubur kayu berasal dari Islam abad 10 M, dimana sebelumnya China hanya membuat kertas dari kepompong ulat sutera. Lihat 2, hal 12; lihat juga 3, hal 63-64

Barat Belajar dari Islam

Para pelajar barat (terutama Eropa) berburu ilmu ke negeri-negeri Islam seperti Barcelona, Toledo, Cordova, Baghdad, Kairo, Damaskus, Mosul, Teheran dan lain-lain, untuk itu mereka harus menguasai bahasa Arab terlebih dahulu. Mereka juga menerjemahkan buku-buku bahasa Arab ke dalam bahasa mereka agar mampu mengembangkan ilmu pengetahuan sejajar dengan Islam. Diantaranya Sylvester yang belajar ke Spanyol, kemudian hari menjadi Paus Sylvester II (abad 10 M), Frederich II penguasa Italia yang akhirnya menjadi Kaisar di Jerman. Lihat 3, hal 61-63

Nama-nama yang diberikan oleh Barat terhadap ahli-ahli muslim di berbagai bidang mungkin aneh di telinga kita dan kita menyangka bahwa mereka para ahli Barat yang beragama Kristen. Nama-nama mereka antara lain Avicena, Geber, Rezhes, Abulcassis, Haly Rodoam, Averroes, Albetinius dan lain-lain, padahal mereka adalah para ahli muslim. Ibnu Sina menjadi Avicena, Jabir Ibnu Hayyan menjadi Geber, Abul Qosim Zahrawi menjadi Abulcassis, Ar-Rozi menjadi Rezhes, Ibnu Rusyd menjadi Averroes atau Al-Battani menjadi Abetinius Lihat 4, hal 21; lihat juga 3, hal 67

Pemutarbalikkan fakta kemajuan ilmu pengetahuan Islam tidak cukup dengan mengganti nama-nama Islam di atas, tetapi istilah-istilah Islam juga digantikan dengan istilah Barat sehingga mengaburkan bahwa penemuan itu berasal dari Islam. Istilah-istilah itu antara lain Algebra (Al-Jabr), Algorithm (Al-Khuwarizmi), Average (Awariya), Cipher/Zero (Sifr), Zenith (Janit), Alchemiy/Chemistry (Al-Kimiya), Antimony (Antimun), Zircon (Azraq), Admiral (Amir al-Bahr), Adobe (Al-Tub), Alkali (Al-Qali), Cable (Habl), Calibre (Qalaba), Camel (Jamal), Canon (Qanun), Checkmate (Shah Mat), Coffe (Qahwa), Cotton (Qutun), Earth (Ardh), Hazard (Al-Zahr), Jasmine (Yasmin), Lemon (Limun), Magazine (Makhazin), Orange (Naranj), Rice (Ruzz), Sugar (Sukkar), Cornea (Qarnia), Pancreas (Bankras) dan lain-lain. Lihat 4, hal 80-84

Kejayaan Islam Akan Kembali

Negara Islam pernah menjadi adi daya (super power) dengan menguasai dunia yang membentang seluruh negara Arab dan Timur Tengah (Saudi Arabia, Suriah Palestina, Yordania, Libanon, Yaman, Mesir, dll.), Persia (Iran), Mesopotamia (Iraq), Kaukasus, Afrika (Al-Jazair, Maroko, Tunisia, Libya, Nigeria, Somalia, Sudan, dll.), Spanyol (Andalusia), Semenanjung Balkan (Bulgaria, Rumania, Albania, Moldovia, Hungaria, Polandia), Perancis (Tuolouse, Narbonne, Perpigna, Lyon), Kepulauan Sisilia (Italia), Yunani, Bizantium (Turki), Asia Tengah (India, Pakistan). Lihat 5, hal 56, 78-84

Negara Islam juga menjadi ahli dan penemu di berbagai bidang sains dan teknologi, dengan semua fakta dan data di atas maka bukan mustahil umat Islam akan kembali bangkit menjadi adi daya dan menguasai dunia. Tentu saja, ketika umat Islam kembali kepada Al-Quran dan as-sunnah, bukannya malah mencampakkannya. Karena ketika Al-Quran dan as-sunnah tidak dijadikan sebagai aturan kehidupan ini maka umat Islam terpuruk, terhina dan terkebalakang seperti saat ini.

Wallahua’lamDakwah Syariah

Sumber: http://dakwahsyariah.blogspot.com/2011/07/kajian-islam-dan-ilmu-pengetahuan.html#ixzz30CBbeyI9