Minggu, 03 Januari 2010

Kebijakan Pemerintah Tentang Penerapan Konsep PHT

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan sektor pertanian kini disiapkan untu memasuki era agroindustri dan agribisnis terpadu. Oleh karena itu pengembanganan penerapan teknologi berwawasan lingkungan serta pengembangan sumberdaya manusia harus mendapat perhatian dan penekanan yang cukup kuat, sebagai landasan pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, antara lain harus dapat memelihara tingkat kapasitas produksi sumber daya alam yang berwawasan lingkungan serta harus dapat mengurangi dampak kegiatan pertanian yang dapat menimbulkan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Salah satu kegiatan riil yang perlu dilaksanakan adalah bagaimana cara pengamanan produksi pertanian dari gangguan organisme penyebab penyakit (OPT).
Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan terutama untuk penyakit-penyakit yan sulit dikendalikan, misalnya penyakit yang disebabkan oleh virus dan patogen tular tanah (soil borne pathogens). Pada tanaman hortikultura, pestisida sintetis merupakan andalan pengendalian yang utama. Penyakit bercak ungu (trotol) pada bawang merah dan bawang putih merupakan salah satu penyakit yang sampai sekarang sulit dikendalikan. Pada beberapa daerah misalnya di Brebes dan Tegal, bawang merah merupakan tanaman andalan petani. Petani cenderung menanam sepanjang tahun tanpa memperhatikan faktor lingkungan. Untuk mengendalikan penyakit ini petani cenderung menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan. Hal ini dilakukan petani antara lain karena modal yang ditanam dalam usaha tani cukup besar sehingga petani tidak mau menanggunag resiko kegagalan usaha taninya, konsumen menghendaki produk hortikultura yang bersih dan cantik (blemish free) dan kurang tersedianya pengendalian non kimia yang efektif.
Penggunaan pestida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis. Oleh karena itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan semakin besar untuk menurunkan penggunaan pestisida sintetis. Pembangunan penyakit tumbuhan secara hayati merupakan salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT) yang sesuai untuk menunjang pertanian berkelanjutan karena pengendalian ini lebih selektif (tidak merusak organisme yang berguna dan manusia) dan lebih berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati berupaya memanfaatkan mikroorganisme hayati dan proses-proses alami. Aplikasi pengendalian hayati harus kompatibel dengan peraturan (karantina), pengendalian dengan jenis tahan, pemakaian pestisida dan lain-lain. Perkembangan hasil penelitian tentang berbagai agensia hayati yang bermanfaat untuk mengendalikan patogen pada tanaman, sebenarnya sudah cukup menggembirakan, walaupun masih relatif sedikit yang dapat digunakan secara efektif di lapangan. Komponen ini jelas berperan dalam peningkatan peranan Fitopatologi Indonesia dalam pengamanan produksi dan pelestarian lingkungan.
Berbagai kendala yang menyangkut komponen hayati antara lain adalah adanya kesan bahwa cara pengendalian hayati lambat kurang diminati. Oleh karena itu terasa pentingnya suatu komitmen untuk menentukan suatu gerak terpadu melalui konsep pengendalian hayati yang menguntungkan dan berkelanjutan dalam pemanfaatannya. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan dasar kebijakan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan perlindungan tanaman. Landasan hukum dan dasar pelaksanaan kegiatan perlindungan tanaman adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan Keputusan Menteri Pertanian No. 887/Kpts/ OT/9/1997 tentang Pedoman Pengendalian OPT. Secara operasional, dalam implementasinya terutama berkaitan dengan otonomi daerah, disesuaikan dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan sesuai Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang pelaksanaan otonomi daerah.
Pengendalian hama terpadu didefinisikan sebagai cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan berkelanjutan. Dengan pengertian ini, konsepsi PHT telah sejalan dengan paradigma pembangunan agribisnis. Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan pengendalian hama secara konvensional yang menekan penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida dalam kerangka penerapan PHT secara konvensional ini menimbulkan dampak negatif yang merugikan baik ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan sebagai akibat penggunaan yang tidak tepat dan berlebihan.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan tanaman
2. Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas kebijakan yang telah diterapkan dalam kegiatan perlindungan tanaman

II. PEMBAHASAN

2.1 Kebijakan dan Strategi Perlindungan Tanaman
A. Kebijakan Perlindungan Tanaman
1. Kebijakan Umum
Dalam pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) berdasarkan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) UU No. 12 Th. 1992. Konsep ini menganut 5 (lima) yaitu: (1) Membudidayakan tanaman sehat, (2) memanfaatkan sebesar-besarnya musuh alami, (3) menggunakan varietas tahan, (4) menggunakan pengendalian fisik/mekanik dan (5) dan penggunaan pestisida bilamana perlu.
2. Kebijakan Operasional
Memantapkan mekanisme operasional pengendalian OPT melalui peningkatan operasional institusi dan aparatnya, petani dan masyarakat yang terkait.
3. Kebijakan Teknis
Meningkatkan pembinaan standarisasi sistem (pengamatan, peramalan, pelaporan) dan teknis pengenalan, identifikasi OPT, pembinaan masyarakat, penerapan PHT, pemanfaatan agensia hayati
B. Strategi Perlindungan Tanaman
1. Kecepatan dan ketepatan informasi baik OPT maupun bencana alam.
2. Penerapan PHT melalui pendekatan partisipatif dan lokal spesifik.
3. Penguatan organisasi petani, pemerintah beserta SDM dan sarana / prasarana.
4. Prioritas penanganan OPT utama pada tanaman pangan dan hortikultura, serta lokasi / wilayah endemis.

2.2 Pengertian Pengendalian Hayati
Banyak ahli memberikan batasan tentang PHT secara beragam, tetapi pada dasarnya mengandung prinsip yang sama. Smith (1978) menyatakan PHT adalah pendekatan ekologi yang bersifat multidisplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan beraneka ragam teknik pengendalian secara kompatibel dalam suatu kesatuan kordinasi pengelolaan. Bottrell (1979) menekankan bahwa PHT adalah pemilihan secara cerdik dari penggunaan tindakan pengendalian hama, yang dapat menjamin hasil yang menguntungkan dilihat dari segi ekonomi, ekologi dan sosiologi.
Sedangkan Kenmore (1989) memberikan definisi singkat PHT sebagai perpaduan yang terbaik. Yang dimaksud perpaduan terbaik ialah menggunakan berbagai metode pengendalian hama secara kompatibel. Sehingga melalui penerapan PHT, diharapkan kerusakan yang ditimbulkan hama tidak merugikan secara ekonomi, sekaligus menghindari kerugian bagi manusia, binatang, tanaman dan lingkungan. Dilihat dari segi operasional pengendalian hama dengan PHT dapat kita artikan sebagai pengendalian hama yang memadukan semua teknik atau metode pengendalian hama sedemikian rupa, sehingga populasi hama dapat tetap berada di bawah aras kerusakan.

2.3 Tujuan dan Implementasi Pengendalian Hayati
1. Meningkatnya hasil dan mutu produk serta pendapatan petani
2. Berkurangnya penggunaan pestisida karena diterapkannya PHT
3. Meningkatnya mutu dan bebas residu pestisida pada komoditi pertanian
4. Mempertahankan danmelindungi kelestarian lingkungan.
Sesuai dengan UU No.12 tahun 1992, tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu yang pelaksanaannya menjadi tanggungjawab petani dengan bimbingan Pemerintah. Dalam upaya mendukung penyelenggaraan PHT tersebut, pemerintah menyelenggarakan pelatihan Sekolah Lapang PHT (SL-PHT) bagi Petugas dan Petani. Menurut Direktorat Perlindungan Perkebunan (2001), tujuan kegiatan pelatihan tersebut adalah agar petugas dan petani memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menerapkan 4 prinsip PHT yaitu: (a) budidaya tanaman sehat, (b) pelestarian musuh alami, (c) pengamatan agroekosistem secara rutin, dan (d) petani menjadi ahli PHT dan manajer di kebunnya.
Selepas mengikuti SL-PHT, diharapkan petani dapat menerapkan pengetahuan PHT di kebunnya sendiri. Dengan asumsi petani mampu melakukannya, maka tingkat kehilangan hasil dapat dicegah atau dikurangi kadarnya sehingga senjang produktivitas tanaman dapat diperkecil. Selain itu mutu produk yang dihasilkan petani menjadi relatif lebih baik, sehingga petani akan mendapat produksi yang lebih tinggi sehingga menerima pendapatan usahatani yang relatif lebih tinggi lagi.

2.4 Sasaran dan Strategi Penerapan PHT
Sasaran penerapan PHT adalah (1) populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap berada pada arah yang secara ekonomis tidak merugikan, (2) produktivitas pertanian mantap pada taraf tinggi, (3) penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, dan (4) risiko kesehatan dan pencemaran lingkungan ditekan. Strategi yang diterapkan dalam melaksakan PHT adalah memadukan semua teknik pengendalian OPT dan melaksanakannya dengan taktik yang memenuhi azas ekologi serta ekonomi .

2.5 Sifat Dasar Pengendalian Hama Terpadu
Sifat dasar pengendalian hama terpadu berbeda dengan pengendalian hama secara konvensional yang saat ini masih banyak dipraktekkan. Dalam PHT, tujuan utama bukanlah pemusnahan, pembasmian atau pemberantasan hama. Melainkan berupa pengendalian populasi hama agar tetap berada di bawah aras yang tidak mengakibatkan kerugian secara ekonomi. Strategi PHT bukanlah eradikasi, melainkan pembatasan (containment). Program PHT mengakui bahwa ada suatu jenjang toleransi manusia terhadap populasi hama, atau terhadap kerusakan yang disebabkan oleh hama. Dalam keadaan tertentu, adanya invidu serangga atau binatang kemungkinan berguna bagi manusia. Pandangan yang menyatakan bahwa setiap individu yang ada di lapangan harus diberantas, tidak sesuai dengan prinsip PHT.
Pengendalian hama dengan PHT disebut pengendalian secara multilateral, yaitu menggunakan semua metode atau teknik pengendalian yang dikenal. PHT tidak bergantung pada satu cara pengendalian tertentu, seperti memfokuskan penggunaan pestisida saja, atau penanaman varietas tahan hama saja. Melainkan semua teknik pengendalian sedapat mungkin dikombinasikan secara terpadu, dalam suatu sistem kesatuan pengelolaan. Disamping sifat dasar yang telah dikemukakan, PHT harus dapat dipertanggungjawabkan secara ekologi. Dan penerapannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan bagi mahluk berguna, hewan, dan manusia, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.

2.6 Taktik PHT
Taktik penerapan PHT suatu cara penerapan pengendalian OPT agar memenuhi azas ekologi yaitu tidak berdampak negatif pada agroekosistem dan azas ekonomi yaitu menguntungkan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Taktik-taktik tersebut yaitu :
1. Pemanfatan proses pengendali alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami.
2. Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam yang bertujuan agar lingkungan tanaman kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangbiakan atau pertumbuhan OPT serta mendorong berfungsinya agens pengendali alami/hayati. Beberapa teknik bercocok tanam antara lain :
a. Penanaman varietas tahan
b. Penanaman benih sehat
c. Pergiliran tanaman dan pergiliran varietas
d. Sanitasi
e. Penetapan masa tanam
f. Tanam serentak dan pengaturan saat tanam
g. Penanaman tanaman perangkap/penolak
h. Penanaman tumpang sari
i. Pengelolaan tanah dan air
j. Pemupukan berimbang sesuai rekomendasi
3. Pengendalian fisik dan mekanis untuk menekan/mengurangi populasi OPT/kerusakan, mengganggu aktivitas fisiologis OPT yang normal, dan mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan OPT
4. Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi OPT pada aras keseimbangannya. Selektivitas pestisida berdasarkan pada sifat fisiologis, ekologis dan cara aplikasi. Keputusan tentang penggunaan pestisida dilakukan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan ambang ekonomi/pengendalian. Pestisida yang digunakan harus yang efektif, terdaftar dan diizinkan.
5. Prinsip Penerapan
Ada 4 (empat) prinsip penerapan PHT, yaitu : (1) budidaya tanaman sehat, (2) pelestarian dan pendayagunaan musuh alami, (3) pengamatan mingguan secara teratur, dan (4) petani berkemampuan melaksanakan dan ahli PHT. Budidaya tanaman sehat merupakan prinsip penting penerapan PHT dengan menggunakan paket teknologi produksi dan praktek agronomis, untuk mewujudkan tanaman sehat. Pelestarian musuh alami melalui pengelolaan dan pelestarian faktor biotik (pengendali alami) dan abiotik (iklim dan cuaca) agar mampu berperan secara maksimal dalam pengendalian populasi dan penekanan tingkat serangan OPT. Pemantauan ekosistem secara teratur yaitu pemantauan hasil interaksi faktor biotik dan abiotik dan menimbulkan serangan OPT. Kegiatan pemantauan merupakan kegiatan penting yang mendasari pengambilan keputusan pengendalian. Petani sebagai ahli PHT merupakan tujuan penerapan agar petani memiliki kemampuan dan kemauan untuk menetapkan tindakan pengendalian sesuai prinsip PHT dan berdasarkan hasil pengamatan. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petani adalah latihan dan pemberdayaan petani.
6. PHT tidak anti pestisida
Aplikasi pestisida boleh dilakukan bila cara-cara pengendalian lainnya sudah tidak dapat mengatasi OPT padahal OPT tersebut diputuskan harus dikendalikan karena telah sampai pada ambang merugikan. Bila dalam PHT masih digunakan pestisida sintetik, maka PHT tidak dapat dimasukkan sebagai bagian dalam pertanian organik. Akan tetapi, bila pestisida sintetik dapat diganti dengan pestisida alami, yang kemudian disebut sebagai pestisida organik, atau cara pengendalian lain non-pestisida maka PHT dapat diterapkan dalam pertanian organik. Cara-cara pengendalian non-pestisida yang aman lingkungan banyak cara pengendalian OPT selain penggunaan pestisida yang dapat digunakan dalam pertanian organik. Salah satunya yaitu dengan menghindarkan adanya OPT saat tanaman sedang dalam masa rentan.
Cara menghindari OPT dapat dilakukan dengan mengatur waktu tanam, pergiliran tanaman, mengatur jarak tanam ataupun dengan cara menanam tanaman secara intercropping. Selain itu, penggunaan varietas tahan merupakan suatu pilihan yang sangat praktis dan ekonomis dalam mengendalikan OPT. Walaupun demikian, penggunaan varietas yang sama dalam waktu yang berulang-ulang dengan cara penanaman yang monokultur dalam areal yang relatif luas akan mendorong terjadinya ras atau biotipe baru dari OPT tersebut. Cara fisik dan mekanis dalam pengendalian OPT dapat dilakukan dengan berbagai upaya, antara lain dengan sanitasi atau membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman sakit atau hama. Selain itu, hama dapat diambil atau dikumpulkan dengan tangan. Hama juga dapat diperangkap dengan senyawa kimia yang disebut sebagai feromon, atau menggunakan lampu pada malam hari. Hama juga dapat diusir atau diperangkap dengan bau-bauan lain seperti bau bangkai, bau karet yang dibakar dan sebagainya. Penggunaan mulsa plastik dan penjemuran tanah setelah diolah dapat menurunkan serangan penyakit tular tanah. Hama dapat pula dikendalikan dengan cara hanya menyemprotkan air dengan tekanan tertentu atau dikumpulkan dengan menggunakan penyedot mekanis. Pengendalian dengan cara biologi merupakan harapan besar untuk pengendalian OPT dalam pertanian organik. Cara ini antara lain menyang-kut penggunaan tanaman perangkap, penggunaan tanaman penolak (tanaman yang tidak disukai), penggunaan mulsa alami, penggunaan kompos yang memungkinkan berkembangnya musuh alami dalam tanah, dan penggunaan mikroba sebagai agen pengendali.

2.7 Langkah-Langkah Pengembangan PHT
Pengembangan sistem PHT didasarkan pada keadaan agroekosistem setempat. Sehingga pengembangan PHT pada suatu daerah boleh jadi berbeda dengan pengembangan di daerah lain. Sistem PHT harus disesuaikan dengan keadaan ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat petani setempat. Para ahli dan lembaga-lembaga internasional seperti FAO menyarankan langkah pengembangan PHT agak berbeda satu sama lain. Namun diantara saran-saran mereka banyak persamaan. Perbedaannya terutama terletak pada penekanan dan urutan-urutan langkah-langkah yang harus ditempuh. Menurut Smith dan Apple (1978), langkah langkah pokok yang perlu dikerjakan dalam pengembangan PHT adalah sebagai berikut :
Langkah 1: Mengenal Status Hama Yang Dikelola
Hama-hama yang menyerang pada suatu agroekosistem, perlu dikenal dengan baik. Sifat-sifat hama perlu diketahui, meliputi perilaku hama, dinamika perkembangan populasi, tingkat kesukaan makanan, dan tingkat kerusakan yang diakibatkannya. Pengenalan hama dapat dilakukan melalui identifikasi dan hasil analisis status hama yang ada. Dalam suatu agroekosistem, kelompok hama yang ada bisa dikategorikan atas hama utama, hama kadangkala (hama minor), hama potensil, hama migran dan bukan hama. Dengan mempelajari dan mengetahui status hama, dapat ditetapkan jenjang toleransi ekonomi untuk masing-masing kategori hama.
Langkah 2 : Mempelajari Komponen Saling Tindak Dalam Ekosistem
Komponen suatu ekosistem perlu ditelaah dan dipelajari. Terutama yang mempengaruhi dinamika perkembangan populasi hama-hama utama. Termasuk dalam langkah ini, ialah menginventarisir musuh-musuh alami, sekaligus mengetahui potensi mereka sebagai pengendali alami. Interaksi antar berbagai komponen biotis dan abiotis, dinamika populasi hama dan musuh alami, studi fenologi tanaman dan hama, studi sebaran hama dan lain-lain, merupakan bahan yang sangat diperlukan untuk menetapkan strategi pengendalian hama yang tepat. Langkah 3: Penetapan dan Pengembangan Ambang Ekonomi
Ambang ekonomi atau ambang pengendalian sering juga diistilahkan sebagai ambang toleransi ekonomik. Ambang ini merupakan ketetapan tentang pengambilan keputusan, kapan harus dilaksanakan penggunaan pestisida. Apabila ternyata populasi atau kerusakan hama belum mencapai aras tersebut, penggunaan pestisida masih belum diperlukan. Untuk menetapkan ambang ekonomi bukanlah pekerjaan yang gampang. Dibutuhkan banyak informasi, baik data biologi dan ekologi, serta ekonomi. Penetapan kerusakan hasil dalam hubungannya dengan populasi hama, merupakan bagian yang penting dalam pengembangan ambang ekonomi. Demikian juga analisis biaya dan manfaat pengendalian, sangat perlu diketahui.
Langkah 4: Pengembangan Sistem Pengamatan dan Monitoring Hama
Untuk mengetahui padat populasi hama pada suatu waktu dan tempat, yang berkaitan terhadap ambang ekonomi hama tersebut, dibutuhkan program pengamatan atau monitoring hama secara rutin dan terorganisasi dengan baik. Metode pengambilan sampel secara benar perlu dikembangkan. Agar data lapangan yang diperoleh dapat dipercaya secara statistik, dan cara pengumpulan data mudah dikerjakan.
Jaringan dan organisasi monitoring yang merupakan salah satu bagian organisasi PHT, perlu dikembangkan agar dapat menjamin ketepatan dan kecepatan arus informasi dari lapangan ke pihak pengambil keputusan pengendalian hama dan sebaliknya.
Langkah 5: Pengembangan Model Deskriptif dan Peramalan Hama
Dengan mengetahui gejolak populasi hama dan hubungannya dengan komponen-komponen ekosistem lainnya, maka perlu dikembangkan model kuantitatif yang dinamis. Model yang dikembangkan diharapkan mampu menggambarkan gejolak populasi dan kerusakan yang ditimbulkan pada waktu yang akan datang. Sehingga, akan dapat diperkirakan dinamika populasi, sekaligus mempertimbangkan bagaimana penanganan agar tidak sampai terjadi ledakan populasi yang merugikan secara ekonomi.
Langkah 6: Pengembangan Srategi Pengelolaan Hama
Strategi dasar PHT adalah menggunakan taktik pengendalian ganda dalam suatu kesatuan sistem yang terkordinasi. Strategi PHT mengusahakan agar populasi atau kerusakan yang ditimbulkan hama tetap berada di bawah aras toleransi manusia. Beberapa taktik dasar PHT antara lain : (1). memanfaatkan pengendalian hayati yang asli ditempat tersebut, (2). mengoptimalkan pengelolaan lingkungan melalui penerapan kultur teknik yang baik, dan (3). penggunaan pestisida secara selektif. Srategi pengelolaan hama berdasarkan PHT, menempatkan pestisida sebagai alternatif terakhir. Pestisida digunakan, jika teknik pengendalian yang lain dianggap tidak mampu mengendalikan serangan hama.
Langkah 7: Penyuluhan Kepada Petani Agar Menerima dan Menerapkan PHT
Petani sebagai pelaksana utama pengendalian hama, perlu menyadari dan mengerti tentang cara pendekatan PHT, termasuk bagaimana menerapkannya di lapangan. Pemahaman lama secara konvensional tentang “pemberantasan” hama, perlu diganti dengan pengertian “pengendalian” atau “pengelolaan” hama. Petani perlu diberikan kepercayaan dan kemampuan untuk dapat mengamati sendiri dan melaporkan keadaan hama pada pertanamannya.
Langkah 8: Pengembangan Organisasi PHT
Sistem PHT mengharuskan adanya suatu organisasi yang efisien dan efektif, yang dapat bekerja secara cepat dan tepat dalam menanggapi setiap perubahan yang terjadi pada agroekosistem. Organisasi tersebut tersusun oleh komponen monitoring, pengambil keputusan, program tindakan, dan penyuluhan pada petani. Organisasi PHT merupakan suatu organisasi yang mampu menyelesaikan permasalahan hama secara mandiri, pada daerah atau unit kerja yang menjadi tanggungjawabnya.

2.8 Pengendalian Hayati Yang Ekologis Dan Berkelanjutan
Pengendalian hayati adalah pengendalian dengan cara memanfaatkan musuh alami untuk mengendalikan OPT termasuk memanipulasi inang, lingkungan atau musuh alami itu sendiri. Pengendalian hayati bersifat ekologis dan berkelanjutan. Ekologis berarti pengendalian hayati harus dilakukan melalui pengelolaan ekosistem pertanian secara efisien dengan sedikit mungkin mendatangkan akibat samping negatif bagi lingkungan hidup. Sedangkan berkelanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bertahan dan menjaga upaya agar tidak merosot atau menjaga agar suatu upaya terus berlangsung.
Pengendalian hayati memiliki arti khusus, karena pada umumnya beresiko kecil, tidak mengakibatkan kekebalan atau resurgensi, tidak membahayakan kesehatan manusia maupun lingkungan dan tidak memerlukan banyak input luar. Pengendalian ini secara terpadu diharapkan dapat menciptakan kondisi yang tidak mendukung bagi kehidupan organisme penyebab penyakit atau mengganggu siklus hidupnya (Baker dan Cook, 1974; Reintjes et al. 1999).
Pengendalian hayati yang ekologis dan berkelanjutan mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut :
1. Berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada. Misalnya keanekaragaman mikroorganisme antagonistik dalam tanah atau di rizosfir (daerah sekitar perakaran) dengan mengkombinasikan berbagai komponen system usaha tani yaitu tanaman, tanah, air, iklim dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.
2. Berusaha memanfaatkan pestisida sintetis seminimal mungkin untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Dalam pembangunan di bidang pertanian, peningkatan produksi seringkali diberi perhatian utama sehingga seringkali batas maksimal produksi dilampaui. Akibatnya ekosistem akan mengalami degradasi dan kemunginan akan runtuh sehingga hanya sebagian orang yang bias hidup dengan sumberdaya tersebut. Konsekwensinya, bahwa bila batas produksi tercapai maka harus dilakukan sesuatu terhadap ekosistem, misalnya pengembalian sumberdaya alam. Prinsip ekologi dasar mewajibkan kita untuk menyadari bahwa produktivitas pertanian memiliki kemampuan terbatas. Pemanfaatan musuh alami OPT menjadi sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekologis karena sumberdaya tersebut dikembalikan lagi ke alam sehingga kualitas lingkungan terutama tanah dapat dipertahankan.
Di alam musuh alami dapat terus berkembang selama nutrisi dan faktor-faktor lain (kelembaban, suhu dan lain-lain) sesuai untuk pertumbuhannya. Proses pengendalian hayati mEniru ekologi alami sehingga untuk menciptakan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan musuh alami tersebut bisa dilakukan dengan memanipulasi sinar matahari, unsur hara tanah dan curah hujan sehingga sstem pertanian dapat terus berlanjut. Misalnya dengan penambahan bahan organik pada tanaman yang akan dikendalikan. Bahan organik atau residu tanaman adalah media yang kondusif untuk mikrooraganisme yang antagonistik terhadap OPT yang pada dasarnya beraspek majemuk, yaitu sebagai pencegah berkembangnya OPT, sebagai sumber unsur hara dan untuk perbaikan fisik tanah pertanian.

2.9 Prospek Pengendalian Hayati
Prospek pengendalian hayati penyakit tanaman perlu ditinjau dari berbagai aspek, erutama aspek teknis sejak kegiatan di laboratorium dan rumah kaca. Jumlah dan jenis penelitian yang sudah diperoleh oleh ahli-ahli penyakit tanaman di bbidang pengendalian hayati sangat besar pada tingkat laboratorium dan rumah kaca, namun hanya sebagian kecil saja yang telah dimanfaatkan di tingkat lapangan dalam skala ekonomi. Hal ini tidak perlu menjadi alasan untuk menyatakan bahwa prospek pengendalian hayati dalam praktek kecil atau kurang relevan. Keanekaragaman dari mikrooragnisme yang antagonistik dan kekayaan sumberdaya alam di Indonesia, sebenarnya menjanjikan peluang yang cukup besar untuk dimanfaatkan dalam pengendalian hayati penyakit tanaman.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 6 tahun 1995 pasal 4 tentang Perlindungan tanaman disebutkan bahwa “Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan menggunakan sarana dan cara yang tidak mengganggu kesehatan dan atau mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam atau lingkungan hidup”. Untuk maksud tersebut yang paling cocok pertanian untuk masa depan adalah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Adapun definisi pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. Dalam pertanian berkelanjutan perlindungan tanaman harus dilakukan dengan prinsip-prinsip pengendalian hama terpadu (PHT). Pengendalian secara hayati merupakan cara pengendalian yang lebih ramah lingkungan dbandingkan dengan pemakaian pestisida. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas pengendalian penyakit tumbuhan secara hayati dapat digunakan sebagai salah satu komponen dalam pengendalian penyakit secara terpadu.

2.10 Konsep Pengendalian Hayati
Dalam pengendalian hayati banyak hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan sifatnya yang ekologis dan berkelanjutan. Secara garis besar konsep pengendalian penyakit secara hayati meliputi hal-hal berikut ini :
1. Mengenal OPT dan memahami faktor-faktor yang mendukung perkembangan ekobiologi dan epidemiologinya.
2. Memahami situasi pada saat tertentu, seperti tanda-tanda terjadinya eksplosi, apakah proses penularan penyakit berlangsung biasa atau lambat.
3. Menghindari terjadinya lingkungan yang kondusif untuk perkembangan dan penularan penyakit, misalnya drainase jelek, tumpukan tanaman inang, tanaman yang tidak terpelihara. Keberdaan dan efektifitas agensia hayati dikaitan dalam kondisi seperti ini kurang memberi keuntungan.
4. Memanfaatkan proses pengendalian alami yang berorientasi pada keseimbangan biologi dan ekosistem, maka agensia hayati harus dipantau untuk mempertahankan dan meningkatkan peranannya dalam jangka waktu tertentu.
5. Karena konsep ini mengait dengan system, maka partisipasi dan kepedulian dari pihak-pihak disiplin ilmua terkait perlu ada, sebaiknya secara institusional.
6. Sebagai salah satu alternatif dari PHT, pengendalian hayati harus kompatibel dengan komponen lain, dengan catatan khusus terhadap pestisida sintetis.
7. Pengendalian hayati sebagai satu sub- system yang efektif dapat terwujud dengan mengembangan pengadaan dan proses sub-komponen utama antagonistic, bahan organik, rotasi dengan tanaman/tumbuhan yang bermanfaat.
8. Melakukan eksploirasi, identifikasi, efikasi, perbanyakan dan aplikasi yang sistematik dari antagonis potential.
9. Mengidupkan informasi dua arah antara pengguna, penyuluh dan sumber teknologi pengendalian hayati.
10. Memasukkan komponen lain (mekanik, pestisida dan lain-lain) pada situasi epidemik dan pertimbangan lain yang memerlukan tindakan khusus

2.11 Kendala dan Kelemahan Pengendalian Hayati
Berbagai kendala yang sering menjadi titik lemah dalam komponen hayati antara lain adalah :
1. Untuk mengetahui secara pasti peranan agensia hayati tidak mudah karena terlalu banyak hal yang dianggap mendasar untuk diteliti.
2. Memerlukan fasilitas untuk mendukung rangkaian penelitian mulai dari eksploirasi, isolasi, identifikasi, pemurnian, perbanyakan inokulum sampai sumberdaya manusia peneliti yang tekun.
3. Petani sudah terbiasa dengan cara pengendalian penyakit yang memberi hasi yang cepat sehingga tidak tertarik dengan cara pengendalian hayati yang berproses lambat dalam kurun waktu yang panjang.
Oleh karena itu sangat terasa pentingnya suatu komitmen untuk menentukan suatu gerak terpadu melalui konsep pengendalian hayati yang menguntungkan dan berkelanjutan dalam pemanfaatannya.
Di dalam prakteknya, penerapan teori yang diperoleh dari SLPHT itu tidak
sepenuhnya dapat dilakukan petani. Banyak faktor internal maupun eksternal yang
mempengaruhi penerapan PHT. Hal ini tidak berbeda dengan kasus-kasus penerapan teknologi baru dalam program pembangunan pertanian yang lain. Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa dalam program pembangunan pertanian dapat diidentifikasi sejumlah petani yang hanya mengadopsi komponen-komponen tertentu dari paket teknologi yang direkomendasikan, bahkan ada indikasi bahwa sebagian petani yang semula telah melaksanakan paket teknologi baru kemudian kembali lagi pada teknologi usahatani lama.
Di samping itu, mengingat kondisi lahan perkebunan dan petani pekebun yang berskala kecil (perkebunan rakyat) maka pengorganisasian diantara petani dalam penerapan PHT merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan PHT. Pengelolaan ekosistem perkebunan dalam menekan populasi hama serta penggunaan pestisida tidak mungkin dilakukan oleh petani yang bekerja sendiri. Dengan demikian maka pengelompokkan petani dalam organisasi kelompok tani yang kompak dan bekerja secara kontinyu tentu akan lebih efisien dalam mencapai tujuan penerapan PHT.

2.12 Contoh Implementasi Kebijakan Pemerintah
Pengendalian OPT yang pendekatannya berdasarkan ekosistem, yang dalam keadaan lingkungan tertentu mengusahakan pengintegrasian berbagai taktik pengendalian kompatibel satu sama lain sedemikian rupa hingga populasi OPT dapat dipertahankan dibawah jumlah yang secara ekonomis tidak merugikan, serta mempertahankan kelestarian lingkungan dan menguntungkan bagi petani.
Contoh rekomendasi yang diberikan pemerintah :
Untuk daerah yang terserang Tikus di Kab. Bojonegoro, Tuban dan Kab. Lamongan, langkah pengendalian yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
a. Pemantauan dini populasi tikus disekitar tanggul irigasi, pematang, jalan desa, dan batas kampung. Bila ditemukan gejala/tanda adanya tikus segera laporkan kepada kelompok.
b. Lakukan sanitasi dan buru tikus di tempat ditemukannya gejala tersebut dengan gropyokan, jala perangkap, dan emposan belerang.

Untuk daerah yang terserang Penggerek Batang Padi di Kab. Bojonegoro, Kab. Tuban, dan Kab. Lamongan, langkah pengendalian yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
Aplikasi insektisida dilakukan bila keadaan serangan melebihi ambang ekonomi atau jika populasi ngengat meningkat pada saat tanaman fase generatif. Gunakan insektisida yang berbahan aktif karbofuran atau fipronil
Untuk daerah yang terserang WBC di Kab. Bojonegoro, Tuban dan Kab. Lamongan, langkah pengendalian yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
a. Penanaman varietas unggul tahan wereng (VUTW) seperti IR-64, ciherang, Widas, Tukad Balian, Tukad Petanu, cimelati, konawe, cisantana, konde dan angke.
b. Aplikasi pestisida (apabila diperlukan) antara lain yang berbahan aktif: buprofezin, BPMC, MIPC, tiametoksam, b. Bassiana, dan lain-lain.

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pemerintah telah menetapkan PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia ialah intrusksi Presiden nomor 3 Tahun 1986 dan Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dengan berdasarkan pada program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, diharapkan program PHT dapat dikembangkan dan diterapkan oleh petani. Mengatasi masalah hama dan gulma merupakan pengetasan masalah yang dilematis diakhir tahun 80-an. Betapa tidak, pestisida yang dianggap menyelesaikan masalah pertanian khususnya dalam pembasmian hama, ternyata menimbulkan dampak. Senyawa-senyawa kimia yang tertinggal, senyawa sisa yang dimanfaatkan tanaman, namun tertinggal dalam tanah. Senyawa yang tertinggal inilah yang mengganggu dan merusak aktifitas tanah. Tanah akan mengalami defisiensi unsur hara alami karena adanya reaksi antar senyawa sisa pestisida dengan hara alami.
Selain mempengaruhi keadaan tanah, ternyata pestisida sendiri secara tidak langsung memberikan peluang terputusnya sistem ekologis areal persawahan dan perkebunan tanaman, yang akhirnya membuat sistem ekologis baru, dimana hewan predator menghilang, hama menjadi kebal setelah beberapa generasi beradaptasi dengan pestisida, dan kekalahan terbesar bagi petani adalah ketika tanah menjadi ketergantungan terhadap pestisida. Untuk itulah, sejak awal tahun 90-an, pemerintah melalui undang-undang meminta kepada para petani untuk tidak lagi mengunakan pestisida kimia. Karena dirasa kontaminasinya berpengaruh besar bagi ekosistem alam. Hingga saat ini petani diharapkan untuk tidak menggunakan pestisida atau bahan kimiawi baik untuk memberantas hama, atau meningkatkan produktivitas tanaman. Sebagai alternatif pemerintah telah mengeluarkan pestisida organik, dan cara-cara pemberantasan dengan lebih memperhatikan ekosistem lingkungan.

3.2 Saran
Perkembangan peradaban umat manusia yang di awali masa revolusi industri ternyata membawa dampak negatif bagi lingkungan. Emisi carbon yang kian hari semakin meningkat sehingga udara menjadi terkontaminasi, kotor dan sudah berada di atas batas toleransi. Air dan tanah menjadi terkontaminasi dan tak bisa dimanfaatkan lagi karena molekul dan senyawa di dalamnya rusak, hilang, bercampur baur. Tanah yang telah mengalami defisiensi unsur hara akan merugikan bagi petani. Untuk itu penyelesaian yang di tawarkan pemerintah perlu di lakukan sebelum semua serba terlambat dan kita benar-benar merasakan akibatnya. Kembali ke cara-cara dan metode lama bukanlah suatu kemunduran melainkan sebuah usaha yang lebih bijak dan menjaga amanah ilahi yang tiada lain merupakan tujuan penciptaan manusia. Namun dari apa yang saya tuliskan diatas tidak menutup kemungkinan adanya dampak yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Oka, Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Smith, R.F. 1978. Distory and Complexity of Integrated Pest Management. In: Pest Control Strategis. S.H. Smith and D. Pimentel (Ed.). Acad. Press. New York.
Smith, R.F and J.L. Apple. 1978. Principles of Integrated Pest Control. IRRI Mimeograph.
Untung, K. 1984. Pengantar Analisis Ekonomi Pengendalian Hama Terpadu. Andi Offset. Yogyakarta.
Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar